Tujuh Belas

293 28 0
                                    

“Ma, liat sepatu Ana yang warna peach gak?” Diana bertanya sembari berlari menuruni tangga dari lantai atas.

Rambutnya masih belum tertata dengan rapih dan outer yang seharusnya melengkapi penampilannya masih ia sampirkan di pundak. Keadaan Diana pagi ini jauh dari kata siap.

Hari minggu yang sibuk, Diana seharusnya bangun pagi-pagi sekali dan membantu rekan-rekan yayasannya menyiapkan acara yang akan dihadiri donatur itu. Namun lagi-lagi Diana terlambat bangun dan membuat seluruh rumah berantakan karena mencari keberadaan sepatu yang dimaksud.

“Ish.. nih anak berisik banget sih pagi-pagi.” Kesal Ibunya. “Cari pake mata dong, buka rak sepatu nomer tiga dari atas. Itu isinya sepatu kamu semua.”

“Gak ada, Ma. Udah Ana keluarin semua sepatunya, tapi yang pengen Ana pake gak ada disana.” Diana memulai aksi mengeluhnya.

Berkacak pinggang, ibunya sudah siap dengan sendok sayur seandainya Diana kembali berkata tidak ada sepatunya di tempat itu. “Kamu bener-bener ya! Astagfirullah nih anak, itu depan mata apa? Sepatu kuda, hah? Rapihin lagi semuanya, udah Mama rapihin juga.”

Diana mencebikkan bibirnya. “Bukan yang itu, Ma. Yang peach satunya, yang ini mah udah buluk warnanya. Di yayasan ada tamu penting hari ini, jadi harus keliatan rapih.”

“Aw.. sakit tau.” Ringis Diana. Tangannya mengusap-ngusap kepalanya yang terkena pukulan dari sendok sayur yang dibawa ibunya.

“Pake aja yang ada, jangan nyari yang gak ada. Sepatu-sepatu kamu juga, kenapa nanyanya ke Mama.” Omel ibunya. “Lagian juga itu bukan warnanya yang buluk, kamu yang males cuci sepatu sendiri. Inget umur, masa semua-mua mesti Mama yang ngerjain. Kamu gimana sih.”

Diana mengusap sudut matanya yang tidak berair, membuat gesture seolah-olah perkataan ibunya telah menyakiti hatinya. “Mama jahat banget ngomongnya. Ah.. gimana ini hati Ana sakit, ada yang patah terus berdarah gara-gara omongan Mama.”

Ibunya melemparkan tatapan datar. “Mau Mama getok lagi? Gak usah nge-drama, berangkat sekarang atau Mama panggilin Papa biar kamu disidang karna ngeberantakin rumah.”

Diana tersenyum lebar kemudian mengambil asal sepatunya. “Anak Mama ini berangkat sekarang ya? Jangan rindu, karna Ana gak mau nanggung beratnya rindu Mama.” Ujarnya sembari tertawa kecil dan menyalami tangan ibunya.

“Heh tunggu, udah sarapan belum?” Teriak ibunya dari dalam rumah.

Membulatkan mata karena ibunya ingat tentang hal penting itu, dengan cepat Diana mengeluarkan motornya dari teras. “Nanti makan disana aja, Ana berangkat Assalamu’alaikum.”

-------

Diana menarik napas panjang ketika melihat ada banyak mobil berjejer di halaman yayasannya. Kepalanya menoleh ke arah kaca spion motor, memastikan sekali lagi rambutnya sudah ia rapihkan dengan baik. Setelahnya Diana menepuk-nepuk pelan baju serta celana yang ia pakai agar bersih dari debu jalan. Mengeluarkan parfum dari dalam tas kemudian menyemprotkan secukupnya ke baju.

“Gue cantik banget sih.” Gumamnya sembari tertawa kecil.

Setelah selesai memuji dirinya, Diana berjalan menuju ruang panitia untuk menaruh tas sebelum berjalan menuju aula, tempat dimana semua orang berkumpul. Kepalanya menunduk sopan ketika berpapasan dengan beberapa orang yang ia duga sebagai tamu hari ini.

Layaknya anak ayam yang kehilangan induknya, kepala Diana menoleh ke kiri dan kanan guna mencari keberadaan rekan-rekannya yang lain. Bibirnya tersenyum ketika menemukan Devi berserta Shinta tengah berbincang di dekat panggung acara. Ia ragu, haruskah dirinya menghampiri kedua rekannya itu?

Memejamkan matanya sejenak, Diana memberanikan diri menghampiri mereka. Sama seperti biasa Devi tersenyum menyambut kedatangannya. Dalam hati Diana meringis karena pernah berusaha bersaing dengan wanita yang terlihat sempurna ini. Apalah dia yang berbeda jauh sekali dengan rekan yang sudah dianggapnya sebagai kakak ini.

Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang