Empat Enam

91 8 0
                                    

“Jadi hadiah yang cocok buat cowok itu apa ya, Bu?” Tanya Diana pada Selvi.

“Baju aja, Na.” Ide Selvi sembari terus melangkah menuju parkiran depan hotel. “Kemeja, jaket atau kaos juga bagus kok.”

Menggigit bibir dalamnya, Diana merasa itu bukan ide yang buruk namun bukan juga ide yang menarik. Ayolah, Keano pasti memiliki semua barang yang Selvi sebutkan, bahkan harganya pun mungkin di atas harga dompet budak koorporat sepertinya.

Satu hal yang dia keluhkan adalah mengapa harga dirinya harus kembali meninggi seperti semula, hingga rasanya ia akan merasa malu jika membelikan barang yang biasa saja.

Ya, ceritanya hari ini Diana ingin pergi membeli barang untuk kekasihnya.

Sebagai bentuk inisiatif yang terlambat, ia juga akan menuliskan surat cin—ah, tidak, tidak terlalu berlebihan jika disebut surat cinta, surat terima kasih karena pria itu sudah baik sekali padanya. Namun sayang masih berada di depan hotel saja otaknya sudah berasap bahkan berapi karena memikirkan barang apa yang akan dibeli.

Menarik napas panjang, Diana merapihkan rambutnya yang tertiup angin. “Dia udah punya banyak baju, Bu. Hadiahku nanti gak ada apa-apanya.” Sedihnya.

Selvi memiringkan sedikit kepalanya. “Emm.. kalo gitu gimana kalo jam tangan aja?”

“Jam tangan?” Gumam Diana sembari berpikir sejenak kemudian menghela napas. “Dia udah punya banyak juga, Bu. Setiap hari aku liat jamnya ganti-ganti mana merknya amazing semua lagi.”

“Jam tangannya bermerk?” Tanya Selvi kebingungan. “Cowok lo kerja apa sih, Na? Waktu itu lo bilang dia punya mobil terus sekarang bilang jam tangannya bermerk semua.” Lanjutnya dengan curiga.

Mati. Diana meruntuk pelan. Alasan apa yang tepat untuk situasi ini ya?

Suara klakson mengalihkan perhatian dua wanita rekan kerja itu. Kepala Diana meneleng ke arah depan kemudian menghela napas lega. Yes, Dika sudah sampai tepat di depannya.

Ia tersenyum lebar sembari melambaikan tangan dengan ceria, baru kali ini kehadiran Dika berguna sebagai penyelamatnya. Ah, biasanya kehadiran laki-laki itu tidak lain dan tidak bukan sebagai penguras kantong dompetnya.

Membuka helmnya, Diana menatap tidak percaya adegan slow motion di televisi tengah pria itu lakukan di depannya. Sudut bibir atasnya terangkat bersiap untuk mencibir sebelum dengan cepat kembali tersenyum ketika Selvi menoleh padanya.

“Diana, sorry ya gue telat.” Ujar Dika dengan senyuman.

Haish, asam lambungnya seketika naik melihat Dika yang tengah tebar pesona.

Lagi pula apa pria itu tidak ingat jika dirinya tengah dekat dengan temannya, Ghina. Bisa-bisanya dia tebar pesona ketika sudah ada wanita di sisinya. Memang tidak bisa dipercaya.

Memaksakan senyumnya, Diana berujar. “Oh gak apa-apa, Mas. Gue juga baru keluar kok.” Mengerti akan lirikan Dika yang mengarah pada Selvi, ia memutar bola mata dan memperkenalkan temannya itu.

“Dia Selvi, temen kerja gue. Selvi, ini Dika Mas-ku.”

Selvi tersenyum malu dengan siku yang menyenggol pelan lengan Diana. “Halo Dika, gue Selvi temen kerjanya Diana.” Ujarnya. “Kalo gitu gue pamit duluan ya. Ojolnya udah ada di depan, kalian berdua selamat malam mingguan.”

“Jangan lupa saran gue, Na.” Bisiknya kemudian melambaik tangan dan berlari kecil menjauh.

Diana menggeleng pelan memperhatikan Selvi yang sepertinya salah paham dengan situasi ini. Ya, tapi sudahlah ini lebih baik daripada sesi introgasi yang bisa membuatnya mati kutu seperti sebelumnya. Menoleh ke arah Dika, keningnya mengernyit dengan helaan napas lelah.

Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang