Brak.
Pintu terbuka dengan keras, suara hentakkan kaki mengisi ruang yang sebelumnya hening tersebut. Tidak ada yang tampak terkejut, tiga orang wanita yang berada di dalam ruangan justru menatap malas ke arah si pelaku.
"Kali ini apalagi?" Tanya salah satu dari ketiganya dengan jengkel.
Diana, sang pelaku pembuka pintu tampak kesal dengan wajah yang memerah dan keringat yang menghiasi dahinya.
"Lo semua ngerjain gue ya!?" Murka Diana.
Riri, wanita yang terlihat cuek diantara mereka semua, mendengus pelan. "Nggak ada yang ngerjain lo, Na."
"Terus tadi apa? Masa cowok yang lebih perhatian ke buku, lo semua kenalin ke gue." Ujar Diana masih dengan nada kesalnya.
"Kan sesuai request lo, maunya dikenalin ke cowok yang berkacamata." Ujar Sasa tidak terima.
"Sstt.. pelanin suara kalian, anak gue nanti bangun." Ujar Dewi sembari menepuk-nepuk pelan bayi dalam gendongannya.
Diana mencebik, "Lo harusnya jangan ikut aja, Wi. Gue nggak enak sama suami lo kalo begini."
"Loh kenapa?" Tanya Dewi tidak mengerti.
"Ya kan lo hangout nya harus bawa anak kayak gini. Bukan maksud ngusir, cuma ya itu kasian anak lo, sama gue nggak enak sama suami lo." Jelas Diana.
Dewi mengibas tangannya. "Santai aja, suami gue nggak bakal marah kok. Jadi gimana pertemuannya tadi? Lo tolak lagi?"
Diana mengambil duduk di samping Dewi kemudian menaruh kepalanya ke atas meja. "Orangnya baik sih, cuma ya itu dia bahas buku mulu. Gue nggak ngerti."
"Oke, Sasa gagal dalam misi. Sekarang giliran siapa sih?" Tanya Riri.
Kini giliran Sasa yang mendengus. "Sampe Mimi peri balik ke kayangan lagi juga, enggak bakal ketemu cowok yang pas buat si Diana. Orang dia nya juga yang nolak terus, gimana mau ketemu orang yang tepat."
"Iya juga sih. Na, udah hampir delapan kali kita ngenalin cowok ke lo, tapi kenapa semuanya lo tolak sih? Jangan terlalu tinggi lah kasih standarnya, nggak baik juga." Dewi membenarkan perkataan Sasa.
Jika ini adalah sebuah komik, mungkin sang penulis akan menggambarkan balon percakapan yang langsung menancap tepat pada si tokoh. Namun sayang, ini adalah kejadian nyata dalam hidup Diana. Dimana panahnya tidak terlihat namun tetap menancap dan terasa sakitnya.
"Ya mau gimana lagi, orang mereka semuanya gak ada yang cocok sama gue. Huhu.. kalo gini apa kabar sama masa depan gue ya."
Mereka semua terdiam. Diantara mereka berempat, hanya Diana seorang yang belum memiliki pasangan. Impian mereka untuk pergi kencan bersama pun sampai sekarang belum juga terwujud, bahkan hingga dua diantara mereka sudah berkeluarga.
Hingga akhirnya sejak enam bulan yang lalu ketiga temannya sepakat untuk membantu Diana dalam menemukan cintanya. Barang kali, Diana memang tidak berbakat mencari cintanya sendiri hingga harus dibantu oleh mereka. Terlihat aneh memang, namun karena rasa pertemanan yang tinggi, mereka rela disebut sebagai biro jodoh untuk Diana.
"Kayaknya bener deh, sumpah dia masih nempel di gue. Argghh.. gue sok' banget sih dulu." Ujar Diana dengan lesu.
Mengerti siapa sosok yang dimaksud, mereka melemparkan tatapan iba pada Diana yang masih menelangkupkan kepalanya di atas meja.
"Tapi masa iya sampe segitunya sih? Gue masih nggak percaya si Diana ngomong begitu." Ujar Riri sembari mengambil stik kentang dan memakannya.
Sasa menggangguk. "Lo yang waktu itu nggak ada di TKP aja nggak percaya sampe sekarang, apalagi gue sama Dewi yang liat langsung."
"Lo nggak sesuai sama tipe gue, jadi gue tolak. Menurut gue nggak kasar sih, cuma ya kesannya ngeremehin gitu. Jadi wajarlah kalo dia tersinggung sampe nyumpahin lo." Ujar Dewi.
"Jadi sekarang apa yang harus gue lakuin? Gue nggak bermaksud nyinggung, sumpah. Lo tau sendiri kan masa remaja itu masa-masa sok-sok an, gue juga dulu begitu. Haah.. kok dia bisa sampe sakit hati ya sama gue." Jelas Diana dengan nada frustasi.
"Menurut gue sih ya, coba lo minta maaf sama dia. Emang sih udah terlambat banget, tapi ya seenggaknya lo minta maaf. Kali aja sakit hatinya ilang karna lo minta maaf." Ujar Riri memberi saran.
Diana mendonggakkan kepalanya, menatap Riri dengan kagum. "Iya, gue harus minta maaf. Ide lo bener, Ri. Nggak sangka gue lo pinter kayak gini."
Riri mendengus mendengarnya.
"Gengsi lo yang setinggi langit udah turun emangnya, Na?" Sindir Dewi pada Diana.
Diana menegakkan kembali tubuhnya kemudian mengangguk dengan mantap. "Demi masa depan, gue nggak boleh gengsian. Semangat Ana!" Ujar Diana sembari mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke atas.
"Dih, gila." Ejek Dewi. "Emang lo tau sekarang dia tinggal atau kerja dimana? Nggak kan, percuma semangat kayak gitu."
Seketika Diana terdiam. Kenyataan menamparnya telak, bagimana Diana ingin minta maaf jika dirinya sendiri pun tidak tahu dimana keberadaan orang itu.
Brak. Brak. Brak.
"Guys.." Panggil Sasa.
"Berisik, Sa! Anak gue lagi tidur." Omel Dewi ketika Sasa memukul-mukul meja.
Sasa mengalihkan pandangan matanya dari ponsel kemudian tersenyum dan meminta maaf pada Dewi.
"Lo mau minta maaf ke dia kan, Na?" Tanya Sasa kembali memastikan.
Diana mengangguk.
"Oke, berarti kali ini lo harus dateng ke acara aniv sekolah kita. Peserta undangan kali ini khusus buat anak alumni tahun xx-xx. Kali aja lo ketemu dia disana."
"Ohh, gue paham maksud lo, Sa." Riri memekik. "Si Diana hadir di acara itu buat cari dia terus bisa sekalian cari jodoh juga." Lanjut Riri lagi.
Sasa mengangguk. "Iya, kayak gitu. Nah kita juga bakal hadir disana buat jadi kasih dukungan ke si Diana, gimana?"
"Acaranya kapan sih?" Tanya Dewi.
"Sabtu depan dari jam 5 sore. Kenapa lo ada acara, Wi?" Tanya Sasa.
"Iya, gue mau imun anak gue ke dokter jam tiga terus pulangnya ada rencana mau ke rumah mertua sekalian nginep disana."
"Ya udah, kalo nggak bisa mah nggak usah dipaksain, Wi. Gue dateng sendiri kesana juga nggak masalah kok." Ujar Diana.
"Maaf ya, gue nggak bisa ikut dukung langsung. Gue dukung lewat doa deh."
"Jadi fix ya, ini pada dateng kecuali Dewi. Nanti alamatnya gue kirim di grup, terus ketemu di tempat acara aja ya."
"Jadi misi kali ini gimana? Gagal ya." Tanya Riri memastikan.
Diana mengangguk. "Iya, gue gagal lagi."
"Oke, Sasa gagal sebagai mak comblang dan Diana gagal sebagai orang yang dicomblangin. Selesai, kita ketemu minggu depan di acara ya, tapi kali ini misinya bukan sebagai biro jodoh. Misi kali ini Diana harus minta maaf sama dia." Jelas Riri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos
RomanceBagi Diana kemunculan kembali Keano adalah bentuk kesialan sekaligus keberuntungan dalam hidupnya. Rasa bersalah karena sudah menorehkan luka dan membuat malu pria itu, membuat Diana kini secara tidak sadar selalu memperhatikan Keano. Ia bukanlah pe...