"Bagaimana?"
"Dia demam."
"Dia akan sembuh nanti."
"Hmm, kita bahas di luar. Adikku perlu istirahat."
Apa itu Roh?
Mataku sulit sekali terbuka. Aku hanya ingin melihatnya selamat tanpa kurang suatu apapun. Tapi rasanya mataku tak mau untuk bekerja sama.
'Ra!'
'Bunda!'
'Hari ini sudah sore, ayo pulang!'
'Bunda tadi aku belajar matematika, temanku tidak bisa menjawab. Jadi aku yang maju dan menjawabnya. Kata Bu guru, aku pintar sekali.'
'Pintarnya anak bunda.'
'Bunda kan yang mengajariku.'
Bunda menggendongku dan kami pulang bersama. Bunda memasakkan sup jagung manis. Aku antusias memakannya sampai menghabiskan semangkuk full.
🌻🌻🌻
"Kau sudah sehat?"
"Ya."
"Kita akan disini sampai kau benar-benar sembuh." Roh mengecek dahiku.
Aku sudah tak apa-apa setelah tidur kembali. Rasanya hanya butuh istirahat saja. Selama ini aku kurang istirahat, setiap malam aku tak pernah tidur pulas. Pasti aku merasakan cemas jika ada langkah kaki atau suara aneh lainnya. Cukup membuatku berjaga semalaman.
"Jangan terjun seperti kemarin, itu sangat menakutkan buatku."
"Hmm, aku juga baru pertama kali."
"Jika tak ada Jenderal Zee, aku mungkin akan mengutuk diriku sendiri selamanya."
"Bagaimana dengan Neon?"
"Ck, dia sempat ingin menembak kalian. Tapi aku menembak kakinya, pengawalnya sempat bingung tapi akhirnya mereka membawa Neon pergi."
Neon terluka?
Aku mengangguk, itu hanya luka tembak. Apa Neon akan membalasnya?
"Besok, jika kamu sudah membaik kita akan pergi ke desa lain. Desa ini bukan tujuan kita."
"Baiklah, lalu apa yang akan kita lakukan? Apa para dewan galaksi sudah tahu?"
"Aku kurang yakin, karena tak ada info dari siapapun. Kurasa kita perlu ke desa lain, Ra. Disana kita akan bertemu temanku. Sekarang kau harus sehat dan sembuh. Aku tak mau kau sakit saat kita kesana."
"Iya, tentu saja."
Dia menepuk pucuk kepalaku. Aku ingin sekali membantu sesuatu untuk mereka.
"Apa aku bisa melakukan sesuatu Roh?"
"Sembuhlah, Ra. Tidak ada yang lebih baik dari kesehatanmu."
Roh pergi membuatku yakin memang aku perlu menyembuhkan diriku. Sebenarnya hanya sedikit pusing saja, tapi aku harus segera bisa membantu mereka. Sedikit saja, asalkan aku bukan beban untuk mereka.
🌻🌻🌻
"Kau yakin?" Roh melihatku dari atas ke bawah.
Aku mengangguk, setidaknya aku punya banyak hal yang perlu kulakukan. Semalam aku sudah bertekad untuk bisa sembuh dan berangkat pagi dengan mereka. Kami harus pergi ke tempat lain. Satu-satunya hal yang khawatirkan adalah keberadaan Neon. Dia bisa saja menyembuhkan lukanya dengan cepat. Terutama dia bukan asli bumi. Bisa saja dia sedang mencariku lagi.
"Jangan paksakan, Ra!"
Jenderal Zee memperingatkan ku.
"Aku tidak apa-apa, sungguh. Lebih baik kita segera pergi kan? Aku tak mau Neon kemari."
"Baiklah, aku akan bersiap."
Roh masuk ke dalam rumah. Jenderal Zee hanya melihatku saja, dia menempelkan tangannya pada dahiku.
"Hmm, kamu harus minum obat, Ra."
"Jika kita sampai ke tempat tujuan kita, toh ini akan sembuh sendiri. Jangan bilang pada Roh, aku tak mau dia membatalkannya."
Sebenarnya aku masih merasakan panas disekujur tubuhku, mungkin itu kondisi dimana tubuhku akan sembuh sendiri. Jika aku berkeringat pasti tubuhku membaik.
"Kita hanya akan berjalan kaki kesana, mungkin 2 harian baru sampai."
"Tak masalah, asalkan lebih cepat kita sampai kesana. Hanya 2 hari kan?"
"Jika tak ada anak buah Neon, bisa saja lebih cepat."
Neon?
Dia apa masih bersandiwara sebagai saudaraku atau calon pengantin?
Waktu itu harusnya dia tak melakukan hal gila lagi, bisa saja aku berteman dengannya seperti saat kami bertemu. Trees tak seburuk itu kan?
"Ayo, aku sudah berpamitan."
Roh berjalan lebih dulu, aku berjalan setelahnya. Hari ini masih subuh, aku mengajaknya karena jika pagi aku tak yakin bisa kabur lagi. Aku punya perasaan tak enak sejak semalam. Bila dugaanku benar, Neon akan datang pagi ini. Desa terdekat dengan keadaan aku tenggelam, pasti dia memikirkannya.
"Kita akan menjadi buronan utama hari ini."
Jenderal Zee tertawa renyah, aku tak mampu untuk tak khawatir setelah mendengarnya. Karena beberapa kali penduduk desa melirik kami setelah keluar rumah. Roh mungkin tak terlalu peduli, tak ada yang bisa membuatnya gentar meski Neon memasang wajah kami disetiap sudut tempat.
Kuharap orang tua kami tak sedih melihatnya atau bila Neon membuat mereka menderita aku tak mau lagi memakai rencana B.
"Kita akan bertemu para demonstran. Jika mereka mau membantu, itu lebih baik."
"Demonstran?"
"Banyak orang yang tak suka kebijakan pemerintah pusat, apalagi tahu kehidupan yang dibagi-bagi seperti sekarang. Hidup dengan ketidakadilan, jika mereka mendengar apa yang terjadi di Jakarta. Mungkin kita bisa mengajak mereka kerjasama."
Aku mangut-mangut, itu bisa membantu kami kan?
"Kita harus menemukan komputer dulu, pasti buktinya sudah dikirim."
"Kuharap, kita bisa melakukannya dengan cepat." Aku menatap langit di atas sana.
Harusnya kami tak bisa diam begini, Jakarta bisa saja menjadi penyebab meletusnya berbagai gunung lainnya. Apalagi di Yogyakarta.
Indonesia terlalu banyak dilewati lingkaran api. Kota-kota lain bisa saja ikut terseret dalam lingkaran api ini.
"Jujur saja, mereka tak menyukai kami." Jenderal Zee.
"Kenapa? Karena kalian dari pihak militer?"
"Hmm, kami pernah bentrok sebelumnya. Jadi, kami bisa saja tak diterima mereka."
"Asal kalian bisa menunjukkan buktinya dan kita butuh rasa percaya mereka. Biar aku saja yang menghadapi mereka."
"Ra, tak semudah itu." Roh menanggapi kami.
"Kenapa lagi?"
"Kami pernah membunuh salah satu dari mereka."
"Apa?"
🌻🌻🌻
Pendek, ya?
Semoga saja mood kembali lagi untuk cerita ini. Jangan lupa like, komen, dan share!
Salam ThunderCalp!🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
NOPE! : Red Moon ( END )
Science FictionAku terjebak kembali!!! Orang yang kuanggap bagian penting dari hidupku ternyata hanyalah orang asing. Jakarta hancur, tempat yang kutinggali selama ini telah hancur diterjang gempa besar. Lalu, Bumiku hanya akan jadi debu bila aku tak melawan merek...