Bab 4 : Hujan Pertama ( 2 )

332 71 4
                                    

Neon?

Contoh manusia biadab ditengah era juga menyedihkan. Aku tertawa menertawaikan kebodohanku saat ini. Bagaimana aku bisa terperangkap bersama orang yang sudah kuanggap hilang dari beradapan muka bumi ini. Mata birunya mengingatkanku pada mata ayah yang sebiru dirinya. Rambut hitamnya sama dengan rambut hitam menakjubkan milik bunda.

"Apa yang kau mau?" Tanyaku terpaksa berdansa dengannya.

"Jangan dingin pada kakakmu sendiri!" Kuatur napasku senormal yang kubisa. Kakak macam apa yang meninggalkan adiknya di tengah kepungan api sendirian. Kakak macam apa yang merelakan adiknya berada dalan perang. Memoriku terputar ke zaman kami kecil, zaman dimana keluargaku lengkap. Dulu sekali kukira aku adalah orang paling beruntung. Punya keluarga baik sebelum insiden itu terjadi, aku dan Neon terjebak dalam kerusuhan saat kami pulang sekolah.

Awalnya aku bersamanya, lalu tanpa kuduga dia berlari sendirian meninggalkanku ditengah-tengah orang berdemonstrasi. Suara peluru dan jeritan terekam jelas di otak ku. Saat dia berbalik menatapku dan mengucapkan satu kata dari jauh. Dia terbawa oleh badan pemerintahan dan akhirnya menghilang. Ayah berupaya kesana mencari dirinya dan sebuah keajaiban beliau terpilih walau akhirnya nyawanya ikut menghilang.

"Kakak? Sejak kapan kita bersaudara?" Tanyaku begitu emosi.

Wajahnya tidak berubah, menampilkan wajah ramah dan tebar senyuman. Orang gila tak akan percaya bahwa seorang Neon yang katanya pengusaha kaya raya ternyata adalah kakak kandungku. Urka maupun Lodan juga tak tahu mengenai Neon karena itu bukan nama aslinya. Hatiku hancur 2 tahun lalu dia hadir dan memperkenalkan diri sebagai pemilik pabrik tempatku bekerja untuk pertama kalinya. Walau lama, aku hapal betul wajahnya, matanya, dan rambutnya.

"Bisakah kita mulai dari awal? Kakak mohon padamu, jangan ungkit masa lalu. Kita perlu membangun masa depan kita, sayang!"

"Hah, dari mananya? Bunda kecewa padamu! Kami kecewa padamu!" Suaraku meninggi dan menghentikan aktivitas berdansa kami.

Anak mana yang tak datang ketika ayahnya meninggal. Anak mana yang tidak datang bertemu kelurganya. Apa dia lupa siapa dirinya atau jangan-jangan dia sengaja? Bunda sempat pingsan tahu Neon menjadi pemilik pabrik. Anak yang dicarinya selama ini telah kembali dengan identitas baru dan itu sangat membuat bunda kecewa. Terutama usaha ayah cuma usaha sia-sia.

"Ra..."

"Bersenang-senanglah!"

Kakiku berlari membawaku menjauh dari lantai dansa. Menubruk tubuh orang-orang yang menghalangi jalanku. Aku menangis untuk ini, satu hal yang kukecewakan darinya sampai sekarang. Kata terakhirnya saat meninggalkanku adalah hal paling menyakitkan sepanjang hidupku.

'Maaf!'

🌻🌻🌻

Aku tidak mengantar Urka atau menunggu kedatangan Lodan. Tubuhku membawaku ke rumah dengan sendirinya memeluk bunda begitu erat. Dadaku sesak bicara dengan Neon, mengingat masa lalu, dan hal menyedihkan lainnya. Tubuhku meringkuk depan jendela, menyelami sore ini penuh kesedihan. Awan hitam yang disebut awan colombus itu masih di selatan. Memberikanku pengetahuan lebih mengenai awan yang terbang dan berhenti disuatu tempat secara permanen dan menyalahi aturan alam. Seharusnya dia ikut pergi bersama awan lainnya bukannya diam disatu tempat.

"Sayang, bunda masuk!"

Wajah bunda lesu sama sepertiku. Kami saling bertatapan dan kembali memeluk. Kehangatan bunda melebihi kehangatan objek panas lainnya. Aku mendongak, guratan tipis dan lingkaran hitam dimatanya membuatku sadar bunda menyimpan sejuta misteri. Kami berdua sama, menyimpan misteri kami masing-masing.

"Jangan menyalahkan masa lalu! Karena pada dasarnya masa lalu juga bagian dari hidup. Sayang, tataplah masa depanmu! Jangan kau terjebak masa lalumu yang cuma membuatmu buta akan hal lainnya!"

"Apa maksud bunda?"

"Kakakmu pasti memiliki alasannya. Walau dia tak pernah berkunjung kemari, kau harus percaya bahwa dia punya alasan kuat. Kita sama-sama kecewa, tapi kita tak boleh lepas harapan. Suatu hari nanti dia akan datang untuk kita."

"Aku kecewa padanya!"

"Bunda juga."

"Jika dia tak pergi meninggalkanku, ayah masih ada." Kuluapkan emosiku.

"Itu takdir, sayang. Ayahmu meninggal karena sebuah takdir."

"Tapi, bun."

"Sttt... Sudah, ayo makan."

Aku menggangguk, kami berdua turun bersama menuju meja makan. Satu hal yang kutahu, boleh saja Neon melupakan keluarganya. Sebab, aku masih memiliki bunda yang berada disampingku dan menajagaku. Tokoh terkusukai dari semua cerita yang ada. Bunda!

Makan malam ini cuma kami berdua, menikmati paha sama seperti Urka. Bunda menamainya paha ayam yang lezat dan mengoda. Aroma nya khas tanpa dibuat-buat. Malam hari tergelap dalam hidupku, awan itu masih disana. Kata bunda Neon punya alasannya, lalu alasan apa awab itu masih disana tanpa berpindah sedikitpun.

Atau jangan-jangan...

Tikkk... Tikk...

Kutatap langit, suara benda jatuh terdengar bersahutan seiring air kecil mengenai jalanan. Aroma tanah tercium dihidungku begitu segar. Kakiku berlarian menuruni tangga dan membuka pintu rumah. Semua orang keluar dari rumah dan menatap langit malam. Awan itu terbang dan menyebar ke penjuru langit. Cahaya mengkilat menusuk langit diikuti suara gemuruh menakutkan. Semua orang berteriak senang dan berlomba-lomba membawa wadah untuk menampung air jatuh.

"Ra, bantu bunda!"

"Iya." Bunda juga melakukan hal yang sama. Meletakkan ember kosong diluar rumah dan membuat wadah menampung berjuta-juta kilo air jatuh.

Apa lagi kejadian ini? Peristiwa tergemparkan dalam sejarah dunia ini.

Bertahun-tahun lamanya hujan jadi kejadian langka. Kutatap langit dan merasakan air jatuh dimukaku. Dingin dan menyegarkan, kedua rasa itu menyatu membentuk keselarasan apik. Lama kelamaan airnya menjadi banyak dan cepat. Aku membawa ember-ember bunda kedalam. Angin berhembus kencang dan mengerikan. Inikah namanya hujan disertai angin?

Atau inikah yang namanya badai?

🌻🌻🌻

Salam ThunderCalp!🤗

Dukung saya dengan cerita ini!

See you...


NOPE! : Red Moon ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang