Bab 10 : Ketidaknyataan

272 54 1
                                    

Hujan kembali turun, aku berteduh disalah satu tempat yang tidak roboh. Mendalami ratusan juta kubik air membasahi bumi. Udara semakin dingin menusuk ke dalam kulitku. Sudah beberapa jam aku berteduh dan hujan belum berhenti juga. Prediksiku hujan ini memiliki panjang waktu lama. Perlu diketahui aku masih berupaya ke perbatasan pulau.

Srettt...

Klontang... Klontang...

Aku mengamati kaleng bergerak turun dari atas tebing. Bergelinding sampai bawah menyentuh kakiku. Kaleng makanan yang baunya masih tercium. Apa di atas ada kehidupan? Aku belum memeriksanya karena itu bukan jalur aman dan nyaman.

Srettt...

Klontang... Klontang...

Lagi-lagi, kaleng berjatuhan dari tebing. Perasaanku mengatakan bahwa di sana ada manusia. Tapi, respon tubuhku mengatakan aku harus bersembunyi. Benar saja, tiga orang turun dari atas. Pakaiannya lusuh dan banyak corak hitam menandakan mereka bukan berasal dari kota Indonesia.

"Aku tadi melihat orang!"

"Kau hanya berhalusinasi!"

"Lihat, kosong."

"Aku melihat seorang gadis di sini."

"Ayolah, Car!"

"Dasar, pikiranmu hanya dipenuhi gadis!"

Dua orang diantara mereka pergi ke atas kembali. Orang yang dipanggil Car masih setia menunggu. Walau air membasahi tubuhnya dia tidak berkeming sedikitpun. Napasku tercekat tahu dia melihat ke arahku bersembunyi. Semakin dekat langkah kakinya terdengar semakin cepat pula debaran jantungku. Ketakutan menjalari setiap inci tubuhku, menembus keberanian yang selama ini tersimpan.

"Ck, kenapa mereka tidak percaya?" Car berbalik menjauh.

Aku memilih mengendap-endap pergi sebelum mereka menyadarinya. Untuk apa orang luar kota kemari? Jauh di luaran sana lebih baik keadaannya daripada kota hancur. Jika aku memilih menyelidiki yang terjadi di atas yang kutakutkan mereka sadar ada gadis sendirian. Lodan dan Urka, bagaimana keadaan mereka sekarang? Apakah mereka mencariku? Selalu terpikir, tidak kah ada yang mencariku. Selama seminggu, dimanakah orang-orang.

Tubuhku basah kuyup, aroma tanah begitu terasa terhirup. Cukup jauh aku berjalan dari tebing sampai jalanan halus. Daerah ini tidak familiar, yang kuingat saat kecil aku diajak berjalan-jalan bersama ayah dan bunda juga dia. Melewati pegunungan gersang dan bekas danau. Kata bunda jika aku lurus melintasi jalanan berbatuan aku sampai pada perbatasan pulau. Peta milik bunda sempat kubawa saat memungut foto keluarga kami.

Aku terus berjalan, berburu makanan layak, menghindari orang luar, dan semuanya kulakukan sampai malam. Tak kusangka banyak orang luar berkeliaran dibeberapa titik dan semuanya rata-rata tebing. Aku tak berani membuat tenda, takut-takut mereka menemukanku. Untuk tidur aku memilih memanjat pohon besar. Melilit tubuhku dibatang pohon dengan tali diransel.

Srettt...

Lihat bukan, di bawah beberapa orang berkeliling. Mereka memeriksa sekeliling bagai hewan berburu dimalam hari. Setiap langkah yang mereka buat layaknya peluru-peluru siap menembus tubuhku. Aku diam sembari mendengar percakapan mereka mengenai sesuatu.

NOPE! : Red Moon ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang