Bab 8 : Tanda S.O.S

262 64 3
                                    

Memang benar ini nyata bukanlah mimpiku di siang hari atau sebuah khayalan. Bumi sudah berubah secara jelas dan nyata. Sekaligus membuatku sadar harus ada penjelasan mengenai perubahan cepat ini. Adakah hal lain yang ikut berubah juga selain alam? Misiku pagi ini membuat tanda S.O.S dari bebatuan rumah-rumah yang hancur lebur. Bibi Tio cukup diam melihatku berupaya penuh mengangkat tiap jenis batu yang ada.

Matahari rasanya sangat panas dan menyengat kulitku. Orang zaman dulu pasti senang bisa merasakan kenikmatan ini dan leluasa menghirup udara segar. Angin berhembus menerbangkan ribuan juta helai rambutku. Bukankah ini dia harapanku? Aku tertawa kecil dan kembali menata bebatuan membentuk hurup S yang terakhir. Siang nanti mereka akan melihat hasil karya seniku, menjemput kami, dan aku bisa bertemu dengan bunda.

"Bibi membuatkanmu teh hangat, istirahat lah!"

"Iya, sebentar lagi!"

Batu terakhir menyempurkan huruf S kedua. Sentuhan terakhir adalah mengibarkan baju pasienku. Mereka akan bisa melihat sesuatu yang berkibar dan mendatangi kami. Dari ujung sana suara helikopter mulai terdengar ditelingaku. Cukup beberapa detik menyadari mereka datang lebih awal. Bibi Tio datang tergopoh-gopoh, wajahnya amat cerah dan penuh semangat untuk hidup.

Angin lebih kencang menerpa wajahku mirip badai lalu. Helikopter terbang di atas, seseorang dari sana entahlah melakukan suatu gerakan dan secara perlahan heli itu turun. Aku mundur ke belakang di samping Bibi Tio. Sedikit lagi aku bisa bertemu bunda.

"Kita akan hidup!" Suara Bibi Tio bergetar penuh suka cita.

Baling-baling heli mulai melambat, kami berjalan bersama mendekatinya. Orang-orang berpakaian hitam turun membawa senjata-senjata. Mereka nampak siaga dan waspada, memangnya apa yang harus ditakutkan? Kami hanyalah warga biasa. Seorang diantara mereka membuka helm dan penutup mata. Wajahnya masih sangat muda, yang membuatku takut adalah matanya bagai elang siap memangsa. Tubuhku sedikit gemetar tahu diseluruh tubuhnya dipenuhi senjata dan peluru.

"Siapa kalian?" Suaranya melebihi suara seorang laki-laki kebanyakan. Dengan aksen luar kota yang kental membuatku bahagia dia bagian dari pusat membantu kami.

"Kami tertinggal, bisakah kami ikut? Bibi Tio harus mendapat pelayan kesehatan secepatnya."

"Maaf, nona. Kami hanya bisa membawa satu orang saja."

Apa? Satu orang?

"Kenapa? Bukankah kalian ditugaskan mencari korban yang selamat? Kami hanya berdua!"

"Itu sudah berakhir kemarin, pencarian sudah kami tutup. Sekarang kami membawa banyak amunisi dan hanya tersedia satu tempat lagi."

Tidak! Tidak bisa!

"Kapan kalian akan datang kembali?"

Dia terdiam cukup lama, berakhir sudah harapanku. Dari matanya menyiratkan permintaan maaf luar biasa dan aku sadar itu. Napasku tercekat begitu dia menggeleng tegas. Hanya satu orang yang bisa ikut mereka.

"Pergilah, Ra! Kau lebih layak dari wanita tua sepertiku. Hidupku bisa saja tinggal hitungan jam."

"Tuan, bawa Bibi Tio bersamamu. Keadaannya baik hanya kakinya yang terluka. Beri pelayanan yang terbaik, aku takut tubuhnya mengalami dehidrasi dan anemia."

NOPE! : Red Moon ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang