Stay With Me [20]

7 2 0
                                    

Nina tidak mempunyai teman saat ini, dia dilanda kesepian yang mencengkeram, merindukkan seseorang yang sama dan selalu muncul di dalam benaknya.

Sambil merenung di teras rumahnya bersandar kepalanya bersandar di tiang rumah. Nina benar-benar merasakan kesepian yang menganggu, kesunyian yang menyiksa, juga kehilangan yang menyayat telah hadir ... akankah kembali ceria seperti semula? Hari yang suram ini, bisakah dia kembali bahagia? Walaupun tidak bersama orang yang ada di benaknya ini?

Bukan salah siapa jika sekarang mereka tidak lagi bersama, mungkin memang sudah jalannya seperti ini ... Tuhan mempertemukan mereka untuk saling mengenal satu sama lain, bukan untuk mereka bersama berlama-lama. Kelak jika memang mereka berdua berjodoh, sejauh apa pun Reja pergi cowok itu akan kembali untuk Nina. Namun, jika tidak Nina berharap Reja mengenangnya sebagai orang yang pernah bermimpi bisa hidup satu atap dengan Reja. Bisakah Nina pasrah begitu saja?

Jika dipikir sekali lagi, itu solusi yang terbaik untuk Nina. Akhir-akhir ini dia selalu menghabiskan waktunya untuk melamun saja. Namun, hati Nina selalu menyangkal tidak menerima kenyataan yang selalu menyadarkannya dan membuatnya tertampar. Makanya Nina lebih memilih fiksi karena lebih meninabobokan, daripada yang nyata membuatnya tertampar.

Tidak hilang, masih ada ... hanya saja lagi tidak bersama. Benak Nina masih bertanya-tanya, "Mengapa Reja pergi dari hidupnya?" Entah mulai memasuki musim panas, Nina tidak peduli. Di manapun dia berada semuanya terlihat sama saja, kosong. Nina tidak ingin membiarkan Reja pergi dari pikirannya dan masih sama selalu memikirkannya. Karena Nina mengingat setiap bayang-bayang Reja masih hinggap di benaknya, tapi apakah Reja pernah memikirkannya?

Membangun harapan yang sama, Nina bersabar dengan bodohnya tidak bisa melupakan genggaman tangan Reja, dan memikirkan hal yang sama. Kadang bisa membuatnya terkekeh sendiri menyadari kebodohannya, meneteskan air mata, atau melamun mengosongkan pikirannya.

Sosok yang hadir. Kehadirannya seolah Sang Surya memberi warna kehidupan. Mengubah gelap gulita yang mencengkram perlahan menjadi terang, menampilkan warna-warna yang sempat tersembunyi. Sosok itu adalah, Reja! Namun, kini hilang dan suasananya kembali mencengkram seperti semula.

***

Hidup seorang diri, Nina hampir lupa sudah selama itu. Sejak seseorang yang dicintainya pergi, dia berusaha dengan menjadi sedikit tegar. Tidak mudah untuk menjadi dirinya sebenarnya, tetapi itu semuanya sudah selesai, Nina pikir sekarang saatnya untuk kembali melanjutkan hidup.

Jangan memikirkan seseorang perkataannya saja tidak bisa digenggam, dan kepastiannya tidak ada.

Dengan senyum palsunya, dengan tertawa palsunya, tetap menjadi terlihat baik-baik saja. Tentu saja itu bukan Nina, cewek itu lebih memilih memasang wajah datar setiap saat melayani pelanggan yang membeli bunga atau tidak Nina akan memasang tampang yang sama. Selama ini Nina tidak pernah tertawa lagi. Menurutnya sendiri dia tidak berusaha untuk terlihat baik-baik saja ataupun larut dalam kesedihan dan keputus asaan, Nina selalu memasang tampang datar sulit untuk ditebak seseorang, tetapi bukankah dia tidak sedang memainkan permainan teka-teki, lalu untuk apa ditebak?

Setelah lulus SMA dulu Nina terus memikirkan mengapa Reja meninggalkanya, Nina bisa gila.

Tapi setelah ini, Nina pikir dia tidak benar-benar butuh Reja. Nina sendirian dan itu tidak seburuk yang dipikirkannya, memang itu sangat menyakitkannya dan sekarang masa-masa itu sudah dilaluinya.

Tidak akan ada lagi tangisan untuk orang yang tidak memikirkanya, tidak akan ada lagi gadis yang berusaha mendapatkan untuk hati seorang pemuda.

Seseorang yang dulu dianggung-anggungkan Nina, seketika saja menyakitinya dan memaksa Nina melangkah sendirian. Karena itu membuatnya pernah sebegitu galaunya, sampai-sampai menciptakan pemikirannya bahwa tanpa Reja, Nina tidak tahu caranya melangkah. Padahal, hari ini Nina bisa melangkah tanpa dia. Dan tidak gila, seperti apa yang dipikirkannya sebelumnya.

Tetapi perlu diketahui Nina menjalaninya dengan sebuah proses-proses yang panjang, hingga dia bisa berdamai dengan masa lalunya. Hidup memang kadang sulit, tetapi setelah Nina melewatinya dia akan mendapatkan hal-hal baru untuk mengajarkannya lebih baik, atau mengajarkannya tentang hal yang buruk dan berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mengulanginya lagi.

Memang hidup ini tidak seindah fiksi, tapi bukakah menerima kenyataan itu lebih memuaskan daripada menerima fiksi. Yang sudah jelas-jelas tidak kenyataan. Dari situ Nina mulai belajar memahami.

Kalau dihayati Reja seolah guru kehidupannya mengubahnya mejadi lebih baik.

Nina menatap pada foto figura di atas nakas kamarnya, kenang-kenagan mereka saat masih SMA. Sementara anggan Nina, kembali pada masa di mana dia saat itu bodoh. Bodoh mengejar orang yang jelas-jelas tidak menyukainya, menangis untuk orang yang tidak menyukainya, dan Nina akui dulunya dia bodoh.

Sekarang dia belajar dari masa lalu yang kelam. Ah ... ternyata benar pidato HUT Prisedin pertama Indonesia yang tak lain adalah Ir. Soekarno Hatta: "Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala daripada masa yang akan datang." Saat itu masih tahun 1996 an. Setelah membaca itu Nina jadi tersadar betapa bodohnya dirinya melihat masa depan dengan mata buta, ternyata masa yang lampau itu berguna untuk masa yang akan datang.

Tertawa kecil, Nina sedang menertawakan kebodohannya dulu, tidak di sesalinya, hanya saja tidak ingin mengulanginya. Namun, jika Reja kembali, aih ... Nina rasa perasaannya masih sama kepada pemuda itu. Jadi daripada sakit hati, lebih baik pemuda itu jangan kembali.

***

Sesuai jadwal yang ditentukan pemeriksaan rutin setiap satu bulan sekali oleh pihak dokter untuk Mama. Mama mengidap penyakit, batu ginjal. Penyakit batu ginjal akibat adanya endapan garam kalsium dalam kandungan kemih (vesika urunaria) sehingga mengakibatkan infeksi pada saluran kemih. Ditambah Mama langka minum air putih sesuai kebutuhan tubuh, jarang olahraga secara rutin, dan kadang-kadang sering menahan buang air kecil.

Nina menemani Mama memeriksa kedokter dengan mengendarai mobil kecepatan yang sedang, mereka menembus padatnya jalan kota Jakarta.

Sesampai di rumah sakit Merpati, Nina memarkirkan mobilnya. Sesudahnya baru memasuki rumah sakit yang bangunannya bertingkat tiga itu.

***

Saat mereka sudah sampai di ruangan dokter yang sudah dijanjikan. Dokter itu sedang berbicara pada pasien yang lain. Terlihat ada wanita masih muda, dan anak perempuan berumur enam tahunan, mereka sedang mengobrol.

Nina mengetuk pintu dulu, untuk mengalihkan perhatiannya, dan meminta izin bolehkah mereka masuk. Jika langsung masuk dan menerobos, siapa tahu mereka butuh privasi.

Dokter itu mengalihkan perhatiannya sejenak, dan menatap Nina di ambang pintu.

"Bolehkah saya ...." Jantung Nina seakan berhenti berdetak, tiba-tiba saja dadanya berdenyut nyeri. Ada perasaan senang bercampur aduk dengan nyeri, melihat seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya.

Kacamata berfarme hitam tipis yang dikenakannya, seperti menandakkan kesan cerdas. Setelan jas dokter melekat di tubuhnya, laki-laki itu sudah berhasil menjadi dokter. Belum lagi terlihat rahang-rahang di wajahnya yang tegas, menandakan pemuda itu sudah benar-benar dewasa. Dokter itu tak lain adalah Reja! Nina masih ingat dan kenal orang itu.

***

Stay With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang