Banyak pilihan menu yang terpampang jelas di menu, Nina tidak mengerti mengapa Reja harus memilih salad. Makanan yang menurut Nina ... sebenarnya batinnya ini jahat. Makanan salad itu seperti rumput, yang dimakan oleh sapi atau hewan peternak lainnya. Oke, batinnya itu jahat.
Nina lebih memilih menyantap burger, ramah di kantong. Eh, tapi ini bukan karena Nina tidak punya uang atau berhemat. Hanya saja makanan cepat saji ini, selain cepat saji ... cepat juga dia memakannya. Nina tidak ingin berlama-lama dengan Reja! Melihat pemuda itu menaikkan kacamatanya, Nina ingin berkomentar pemuda itu tengah memamerkan betapa terkesan cerdasnya dia, ya?
Mencoba mengobrol, tetapi Nina selalu saja mengabaikan percakapan Reja. Reja binggung harus bagaimana cewek itu mau diajak mengobrol? Sampai akhir keduanya selesai makan siang, mereka ditemani suara riuh pengunjung lain.
Tidak seperti yang tadi, jika tadi Nina mengabaikannya. Kini Ninalah yang membuka pembicaraan lebih dulu. "Lo udah nikah?"
Satu alis kanan Reja terangkat, sepertinya cowok itu tidak pernah mengubah kelakuannya, menurut Nina cowok itu keren kalau menaikkan satu alis. Cool. Berdemage tersendirilah bagi Nina. Aih, no! No! No!
"Belum."
Tanpa sadar Nina menghela nafas lega. Saat kesadarannya pulih kembali, Nina mengutuk dirinya sendiri, eh! Eh! Eh! Gak boleh Nina!
Seolah pura-pura tidak peduli, padahal seperti kupu-kupu berterbangan di perutnya. Nina memasang wajah biasa saja.
"Kamu mau gak tunagan sama aku?"
Mata Nina melebar, jantung Nina berdetak lebih cepat. Reja tidak boleh main-main dengan perkataannya. Meski begitu, beberapa detik kemudian ekspresi Nina kembali tetap sama, tenang, seolah itu perkataan yang tidak membuatnya kagum, takjub, dan terkejut sama sekali.
Dengan santai, Nina membalas, "Kalau gue jawab 'enggak' terserah gue, 'kan?" Balasan yang sebenarnya, lebih Nina pendam di dalam sana.
Reja mengangguk mengerti, tidak ada raut yang kecewa. Pemuda itu nampak santai sepertinya. Namun, yang membuat Nina mengerutkan keningnya saat pemuda itu berkata, "Kamu udah berubah." Dengan helaan nafas panjang.
"Gak ada yang berubah, gue hanya menghindar dari orang-orang yang gak bisa menghargai, karena dewasa itu bukan soal usia, tapi perihal menghargai perasaan manusia." Nina tidak bodoh seperti dulu! Dia tidak akan mengemis-ngemis hanya untuk mendapatkan cinta Reja, sedangkan Reja dari perkataannya tadi saja terdengar tidak serius. Dan tiba-tiba saja mengajaknya bertunangan, kan aneh.
Nina bangkit dari duduknya, lalu beranjak pergi meninggalkan Reja tanpa sepatah kata lagi.
Sedangkan Reja? Cowok itu menatap punggung Nina yang perlahan mulai menjauh dari pandangannya. Dia menghela nafas. Reja ingat dan masih ingat! Dia sering menolak Nina, mungkin ini balasannya. Dan Reja juga tadi mengatakan ingin bertunangan dengan Nina secara mendadak, tidak menyiapkan cincin atau buket bunga. Tidak romantis sekali, tapi kalau gitu ... oke, pemikirannya itu sangat alay.
***
Seberat apa pun masalah, akan selesai pada akhirnya. Seperti Nina, ini bukan perihal tentang Reja. Tetapi, Papa. Pria paruh baya itu meminta maaf padanya, sekitar dua tahun lalu. Dan Papa juga merenovasi toko bunga milik Mama dari memperluas, memperbanyakkan bunga atau menambahkan jenis-jenis tanaman hias lainnya, satu lagi yang membuat Nina sekarang langka untuk membantu Mama di toko bunga miliknya itu; Papa menambahkan beberapa karyawa. Jadi otomatis Nina tidak terlalu letih membantu Mamanya, dan menghabiskan waktunya di rumah. Membosankan memang.
Sudah selesai bukan masalahnya?
Namun, masalahnya yang dulu kembali lagi. Masalah yang selalu ingin dihindarinya. Masalah yang tidak ada habisnya. Masalah yang selalu menghantui batinnya dulu, kembali lagi. Masalah itu rumit, sulit, bagai teka-teki yang belum terpecahkan. Masalahnya itu tak lain adalah; Reja. Setelah mereka bertemu satu Minggu yang lalu, entah kenapa membuat Nina merindukan laki-laki itu.
Nina mengembuskan nafas. Dia rindu, tapi tidak mencarinya. Dia ingin bertemu, tapi tidak mendatanginya. Dia ingin berbicara, tapi dia tidak menghubunginya. Semua itu karena Nina tidak mau berjuang sendiri dan tidak ingin menganggu Reja ... bukan sebab dia benci, tapi Nina mencoba untuk menahan diri dan sadar diri. Nina sadar, dulu-dulunya dia tidak tahu diri.
Menjalin hubungan? Nina adalah seseorang yang sekarang menjadi susah percaya kepada laki-laki, seseorang yang takut untuk memulai hubungan yang baru, seseorang yang menjadi sulit untuk jatuh cinta, kemudian menjadi seseorang yang menganggap semua laki-laki sama saja, dan seseorang itu adalah, Nina.
Eh ... tapi itu tidak berlaku sepenuhnya untuk Kevan! Laki-laki itu mempunyai sifat hangat sejak awal mereka bertemu, periang, ramah, sikapnya itu penuh kasih dan sayang, bukan itu saja Kevan itu perhatian. Rupa wajah laki-laki itu tidak buruk, bahkan perempuan banyak yang memuji ketampanan Kevan, salah satunya Nina.
Di waktu luang Nina muncul dalam benaknya, apakah ada kode tersirat tercipta dibalik kelebutan sikap Kevan?
Kevan memang belum pernah mengunggkapkan perasaannya pada Nina, tapi ... ck! Tidak boleh berharap! Bukankah Reja selalu begitu?
Dan muncullah dalam benaknya peringatan-peringatan seperti, jangan ngampang kege-eran, apalagi merasa paling spesial. Siapa tahu Kevan begitu juga ke semua gadis, tidak hanya pada dirinya. Waspada itu bukan untuk menghidar dengan Kevan, hanya sedikit berhati-hati saja. Tidak salahkan untuk berhati-hati?
Kevan selalu membuatnya nyaman, tetapi saat bersama Reja membuat Nina berdebar. Jauh dari lubuk hatinya, Nina masih mengharapkan Reja.
Nina masih berharap mereka bersama seperti dulu, tetapi kenyataannya itu tidak bisa. Sambil menghela nafas pajang, Nina melirik figura di atas nakas yang menyedot perhatiannya. Foto mereka saat masih SMA dulu. Suasananya sekarang sudah beda, nyatanya kesibukkan Reja selalu menjadi alasan yang kuat untuk mereka saling sulit bertemu. Nina tidak berharap lebih, hanya berharap sedikit saja, boleh sajakan?
Tiba-tiba ponsel cerdas Nina berdering. Sambil berdecak, karena kesal. Tangan Nina menghahar mencari ponselnya, dapat!
Saat Nina melihat nama Reja tertera di layar ponselnya, matanya mencoba mengerjab-ngerjab. Tidak salahkah? Baru saja dipikirkan, laki-laki itu menelponnya.
Suaranya diatur semaksimal mungkin, untuk tidak ketahuan. Bahwa Nina sedang bahagia, sangat bahagia mendapatkan telepon dari Reja. Kesannya seperti Nina tidak lagi menyukai Reja, tidak lagi mengejar Reja, Nina tidak berharap lagi dengan Reja, dan perasaan Nina sudah hilang. Realitasnya tidak.
"Halo?"
"Kamu ada janjian malam ini?" tanya Reja di sembrang sana.
Seingat Nina tidak ada. Waktunya luang, kosong. Karena setiap harinya Nina hanya diam di rumah. "Gak ada, sih."
"Malam ini aku pengin kita ketemuan."
"Why?" Suara Nina terdengar agak biasa saja, sedangkan di hatinya seperti musim semi di musim gugur.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me (END)
Ficțiune generală#04 tujuanhidup 15 maret 2022 (Masih dalam proses penerbitan, berarti belum dihapus. Ya! Happy reading) ---------------------------------------------------- Nina Ayundha menyukai Reja, kali ini dia akan mengunggkapkannya. Tidak itu saja, bahkan Ni...