Stay With Me [33]

19 2 0
                                    

Sungguh, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak ingin peduli pada Reja.

Nina mulai belajar sadar diri. Kapan Nina pernah sadar? Mulai sekarang. Reja memang tidak pernah lagi menghubunginya, atau sekadar menanyakan kabar padanya, mungkin saat ini Nina waktunya sadar diri. Nina juga ingin dikejar. Namun, kekasihnya itu onlen tidak pernah menchat nya. Nina tahu Reja mempunyai kesibukkan, setidaknya luangkan sedikit, hanya sedikit untuk sekadar menanyakan kabarnya.

Sudah satu minggu ini, Nina bersikap seolah-oleh dia tidak peduli. Tidak bertukar kabar. Atau teleponan basa-basi. Hubungan mereka? Entah Nina sudah lelah memperjuangkannya seorang diri. Nina ingin dirindukan, Nina ingin dikejar, dibuatkan puisi. Lalu bertingkah seolah tidak peduli, agar Reja tahu rasanya jadi Nina.

***

Reja sedang menatap ponsel cerdasnya binggung, tumben Nina tidak pernah lagi meneleponnya.

Kemarin-kemarinnya Reja bimbang oleh perasaannya, agak ragu untuk melangkah ke jenjang keseriusan bersama Nina. Selama berpacaran dengan Nina, Reja rasa Nina selalu meminta diperhatikan, bertelepon, bertukar kabar lewat chat, komunikasi setiap hari. Itu untuk apa? Namun, setelah seminggu ini Nina tidak melakukan itu. Hatinya seketika merasa terenyuh oleh rasa rindu.

Jikalau mencari yang sempurna, membanding-bandingkan dengan yang lain, selalu menimbang-nimbangkan, itu tidak akan ada habisnya, selalu ada seseorang yang lebih sempurna daripadanya.

Reja meraih benda pipih itu di atas nakas, untuk yang pertama kali saat mereka pacaran dia mencoba menghubungi Nina. Namun, suara operator yang datar terdengar, memberi tahu bahwa saat ini nomor yang dihubunginya sedang tidak aktif.

Reja menekuk dahi, binggung. Kecemasan tiba-tiba muncul dan menghantui benaknya, bagaimana keadaan Nina selama satu minggu ini? Ada apa dengan Nina? Apa mungkin Nina sakit? Jika Nina sakit, itu bahaya, semoga saja tidak.

Tangan Reja kembali meraih kunci mobil di atas nakas kamarnya, dan segera menuju parkir menghampiri mobilnya. Reja ingin melihat wajah Nina, yang satu minggu ini batang hidungnya saja tidak pernah terlihat.

***

Nina berada di teras rumahnya duduk, bersandar pada bahu Darren yang tengah curhat perihal kapan dia naik gajih? Dan Nina juga curhat perihal hubungannya. Darren yang sedikit lebih tua padanya itu sesekali memberi solusi, yang membuat pemikiran Nina semakin rumit.

"Menurut gue, sih, lebih baik lo hubungin dia," saran Darren.

Nina menghela nafas. "Gue duluan?" Nina meneleng untuk menatap Darren yang ternyata juga tengah menatapnya. "Ren, dia itu onlen, tapi gak ngechat, maksudnya apa coba? Dia nyuruh gue cari, apa nyuruh gue pergi?"

Darren berdecak, hubungan sepupunya ini bisa dibilang drama yang membosankan. "Intinya cuman gini, kalau lo mau pergi. Pergi aja gak ada yang larang, lagian cowok bukan dia doang."

Mata Nina menangkap mobil yang perlahan memasuki pemukiman rumahnya, mungkin itu mobil Axel. "Gak-ah. Gak ada yang kaya dia." Nina kembali meneleng menatap Darren. "Ada gak, sih? Masalah yang lebih rumit daripada ini?"

Darren menatap lekat Nina, dia terkekeh. "Ada. Lo sih gak punya pengalaman apa-apa tentang hidup, cuman tahu manisnya doang. Ada malahan ini lebih susah."

"Apa?"

"Uang."

Bersusah payah Nina menahan untuk tidak mendengkus. "Uang! Uang! Uang! Ada yang lain selain uang, gak?"

"Gak ada. Kenapa? Ini bangunan dibangun dengan uang. SPP bisa murah, karena ketua yayasan banyak uang. Dosen yang sepuluh, Mahasiswa satu, kenapa bisa hidup? Karena dia punya! Ambil, cari uang yang sebanyak-banyaknya!" Darren berkata tegas, Nina berpikir selama ini oksigen itu sangat penting, lebih penting daripada uang.

Sejenak hening, Nina tercenung, semakin menatap heran dengan Darren yang juga menatapnya. Suara riuh jalan raya, seolah terhiraukan. Sepertinya sepupunya ini telah terlalu mencintai uang, segitunya.

Darren kembali melanjutkan perkataanya, "Lo bakalan gak setuju, menurut gue lo akan mengatakan 'Darren boleh gak uang dicari, tetapikan uang bukan segalanya' gue setuju sih." Tanda kutip itu Darren berbicara dengan gaya ala-ala Nina bicara, membuat Nina gemas.

"UANG BUKAN SEGALANYA. Tetapi kenyataan hidup, segalanya butuh uang." Wajah Darren yang serius membuat Nina kagum.

Tanpa sadar Nina bertepuk tangan, ternyata sepupunya ini. Mempunyai pemikiran 'wow' yang masuk akal untuk dikatakan, Nina tidak yakin ini Darren.

Dengan bangga Darren melanjutkan perkataanya kembali. "Gak mungkin bisa beribadah haji, kalau tidak punya uang. Hanya ada satu dua orang yang bisa ibadah haju, tanpa memiliki uang."

"Eh, tapi uang itu gak bisa dibawa mati, lho?"

Dalam benaknya tertawa geli, Darren sudah bisa menebak itu yang akan ditanyakan Nina. "Betul, gue setuju. Tapi tidak sedikit orang terasa mati, kalau tidak punya uang."

Nina semakin dibuat kagum oleh Darren, dia menatap berbinar sepupunya ini.

"Misalkan lo protes 'Ren, uang itu hanya akan menjadikan masalah' setuju ... tapi banyak masalah yang harus diselesaikan dengan uang. 'Ren, kalau sudah cinta, tidak ada lagi urusan uang'. Bener, tapi kalau cinta ada uang, itu lebih indah!"

Nina membuka mulut takjub, dia bertepuk tangan. Berdecak kagum berkali-kali, bahkan menggeleng.

"Makanya gue gak memandang enteng tentang uang. Yang terpenting cari uang yang sebanyak-banyaknya."

Pantas saja sepupunya ini cinta mati dengan uang.

"Ingat! Dengan cara yang halal, dengan cara kejujuran. Dengan tidak menyalahgunakan kewenangan, maka di situ dikatakan uang akan tepat berada di orang yang tepat. Uang itu hakekatnya akan menjadi keberkahan, bagi semua umat." Darren menghela nafas.

"Yang terakhir pengen gue sampaikan tidak ada kesuksesan, tanpa kerja keras. Tidak asa kesuksesan, tanpa perjuangan. Dan tidak ada kesuksesan, tanpa dorongan doa dari orangtua kita!"

Tepuk tangan seseorang yang pastinya pemiliknya bukan Nina, membuat Nina melebarkan mata melihat orang itu.

"Reja." Nina menarik badannya, entah bersandar di bahu Darren meski laki-laki itu sepupunya, di hadapan Reja, seperti ingin membuatnya cemburu. Nina tidak ingin membuat Reja cemburu, walaupun Nina tidak tahu bagaimana perasaan Reja.

"Bagus pidato Anda. Sayangnya, penciptanya bukan Anda," komentar Reja dingin menusuk. Membuat bulu kuduk Nina seketika merinding.

Darren nampak tidak terima meski benar, diakan ingin dipuji kagum habis-habisan oleh sepupunya itu, setidaknya satu kali saja. Banyak orang yang tidak tahu, Darren sebenarnya menyukai pujian.

"Iya, emang ... kalau gak salah penciptanya ... penciptanya  ... eh, lupa? Siapa?" Jika Darren dikatakan 'plagiat' kata-kata, bagaimana? Terus dia dilaporkan ke penjara, karena meminjam kata-kata orang? Lebih baik Darren mengaku, daripada urusannya panjang nantinya. Ih, bahaya.

Reja mendengkus, dia menaikkan kacamatanya. Mendelik tajam ke arah Nina, membuat Nina mengerutkan kening binggung. Apa dia melakukan kesalahan?

Reja berjalan perlahan menuju Nina, sesampainya di hadapan Nina. Pria itu menarik tangannya secara, bisa Nina rasakan tarikannya kasar.

"Wey, lo siapa?! Main tarik-tarik anak orang aja!"

Tanpa menghiraukan pertanyaan Darren, Reja menarik tangan Nina, dan berjalan tergesa-gesa. Tidak memperdulikan Nina yang meringgis kesakitan dan berusaha menyejajarkan langkahnya.

"Sakit, Ja."

Samar-samar terdengar. "Yang menciptakan pidato tadi, siapa? Sorry gue lupa! Woy!"

Darren tercenung, pidato itu memang bukan dia yang menciptakannya. Soal Darren hafal pidato tentang "uang" sebut saja begitu, kalau tidak salah Darren memang menghafalnya dulu. Oh, iya kalau tidak salah ingat orang yang berpidato itu menyebut nama "Pak Uman". Eh, entahlah, mungkin juga.

***

Stay With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang