Stay With Me [32]

11 2 0
                                    

Nina tidak ingin yang lain, hanya menginginkan Reja. Dari dulu hingga sekarang, Nina harap sampai akhir. Jika ada kesempatan-kesempatan yang luang Nina akan selalu menunjukkan cintanya. Dan dia tidak akan mampu berpura-pura, pada orang yang sangat dicintainya.

Nina berharap Reja akan selalu berada di sisinya, bahkan saat dunia telah menyerah. Nina tidak butuh apa pun saat itu, dia hanya butuh Reja yang bisa mencintainya pada saat terpuruk. Mengetahui Nina tidak sempurna, tapi Nina harap Reja melihat nilainya sekecil apa pun.

Hanya ada Reja, tidak ada yang baru, Nina selalu mengutamakannya. Dan untuknya, Nina bersumpah akan melakukan apa pun.

Termasuk menunggu Reja mengoperasi paseinnya. Nina memutuskan untuk ke rumah sakit, duduk di sofa entah berapa lama, dan akhirnya tertidur dengan kepala di sadarkan di sofa.

Nina terbangun saat sore. Tadi berangkat siang, sepertinya Reja masih belum juga keluar dari ruangan UGD.

Menguap lebih luas, Nina mendengar suara wanita mengobrol sepertinya tengah duduk di sebelahnya dengan anak perempuan yang mungkin sedang diajak mengobrol.

Nina menoleh ke sebelah. Wanita cantik dengan sorot matanya mengisyaratkan menilai dari atas hingga bawah tampilan Nina. Bahkan senyuman Nina yang manis, tidak dibalasnya. Di bibirnya hanya ada seringaian, yang menurut Nina itu seringaian licik.

Susah payah Nina menelan ludah.

Tak lama setelah itu Reja memasuki ruangannya, dokter itu terlihat kelelahan. Dengan baju hijau melekat di badannya, terlihat sekali dia habis mengoperasi.

"Reja. Lo udah selesai?" tanya Nina agak canggung juga sih, karena kehadiran seseorang yang juga tengah menunggu Reja, sepertinya.

Reja menangguk lesu. Dia berjalan ke dalam ruangan ganti.

Otak Nina traveling-traveling jauh. Kata beberapa orang dada bidang dokter itu berbulu, aih ... kok Nina jadi kepikiran gitu, sih! Lagian Nina juga tidak pernah lihat, itu hanya 'katanya'. Kalau gini sih Nina dipaksa dewasa sebelum waktunya, gara-gara halunya kejauhan, aduh mana ke arah yang agak seksual begitu, sadarlah Nina ini bukan saatnya.

Nina bergidik ngeri, kenapa sih halunya yang agak traveling jauh tidak henti-hentinya?

"Na, kamu kenapa?"

Nina tersentak saat Reja sudah kembali, dia menggunakan kemeja biru tua dan celana entah Nina tidak tahu celana apa itu namanya.

"Gak apa-apa."

"Lo sibuk banget, ya? Ja?" Nina melirik wanita dan anaknya yang menatap Reja juga. Tidak masalah jika hanya menatap saja, tapi wanita itu menatap Reja tanpa berkedip yang artinya takjub.

Tanpa menghiraukan perkataan Nina Reja bertanya pada wanita itu. "Vina, Via kenapa?"

Kenapa Via? Lalu Vina? Nina langsung menengang.

"Dia kangen sama kamu." Nina juga kangen dengan Reja. Reja mengabaikan pertanyaannya, menganggap Nina seolah-olah tidak berarti. Orang yang bernama Vina itu wanita cantik di sebelahnya ini? Suaranya juga cantik. Apa mungkin dia orang yang berbicara ditelepon dulu?

Reja duduk di sofa tunggal di sembrang sana. Dia tersenyum, Nina pikir Reja hanya akan tersenyum pada saat bersamanya saja. Tetapi nyata tidak.

"Gigi Via udah membaik?"

Gadis kecil itu mengangguk semangat. "Iya, Om. Via seling minum obat yang telatur." Seperti anak kecil lainnya, Via belum lancar mengatakan huruf 'R' makanya dia mengganti 'L'.

Setelah itu mereka bertiga berbincang-bicang, dari memulai membahas gigi Via, Reja memeriksa gigi Via, dan Nina diambaikan. Nina tidak berkutik apa pun, tidak memprotes apa pun. Berusaha tenang, meskipun Nina terbakar api cemburu.

Berbagai skenario yang mirip sinetron kejar tayang di benaknya, dan satu pun tidak ada yang bagus. Nina takut, bagaimana kalau salah satu sinetron itu terjadi di dalam hidupnya yang sudah cukup berat?

Nina berharap Vina bukan saingannya, karena kalau Nina nilai tentu saja Vina lebih sempurna daripadanya. Vina mempunyai semuanya, wajah yang cantik terlihat agak dewasa, badan yang tinggi meski Nina belum bersanding dengan Vina, tapi Nina yakin kaki jenjang Vina itu terlihat panjang, belum lagi suaranya yang lembut. Sempurna, sedangkan Nina? Tentu saja jauh dari kata itu.

Entah berapa lama ... Nina tidak mengetahuinya, yang pastinya ini sudah sangat sore.

Nina bangkit dari sofa, tanpa memaksakan senyum atau wajah kecewa apa pun Nina berkata, "Ja, gue pulang."

***

Bodoh dan hatinya yang keras kepala, Nina kembali menemui Reja ke rumah sakit. Karena setelah ditimbang-timbang Reja dan Nina perlu berbicara, perlu yang namanya 'diskusi', laki-laki itu terlalu banyak berhutang penjelasan padanya.

Entah sampai kapan Nina hubungan mereka selalu diterpa badai, dan Nina selalu bertahan. Nina juga punya rasa bosan, capek, letih untuk menjalani ini semua.

***

"Ja, kamu serius pacaran sama si Nina Ayundha itu?" Suara yang Nina kenal dan masih tersimpan di dalam benaknnya. Suara ini membuat Nina iri. Vina.

"Emang kenapa?" Nina meyakini itu suara Reja.

Vina terkekeh di dalam sana. "Enggak, cuman kalian gak sederajat aja."

"Derajat itu penting?"

"Tentu saja. Coba bayangin, kamu itu langit sedangkan dia itu bumi. Mana bisa bersatu."

"Aku manusia, dia manusia. Kami bukan langit dan bumi." Apa Reja di dalam sana sedang membelanya? Jika benar. Apa Reja mencintainya? Lalu jika mencintainya ... mengapa Reja satu ruangan dengan Vina?

"Reja selera kamu rendah." Nina rendahan?

"Terus pengennya gimana?"

"Yang cantik lebih dari aku, terus tinggi, model, orangnnya agak dewasa, dan kuliah kurang lebih S2." Tentu jelas itu bukan Nina.

Tak diketahui semua yang barusan bercakap-cakap, Nina berdiri dengan sikap kaku. Tangannya menggempal menahan gemas karena merasa Reja sepertinya mempunyai hubungan yang spesial dengan Vina.

Nina berdiri tadinya ingin membuka pintu, badannya kaku. Entah perasaan ini apa. Yang pastinya Nina cemburu.

Tangan Nina yang ingin memutar knop pintu, kini dia urungkan, lebih memilih memutar balik badannya dan beranjak pergi. Mengurungkan niatnya ke sini untuk menemui Reja. Hubungan apa yang Vina dan Reja punyai, Nina sekarang tidak perduli.

***

Siang ini Nina menelepon Reja. Hm ... kembali mencari penyakit.

Saat telepon mereka sudah terhubung. Nina bersuara lebih dulu. "Ja, sibuk, ya?"

Terdengar Reja sedang berbicara di seberang sana, entah dengan siapa. Hingga lebih mengalihkan perhatiannya pada orang yang di seberang sana daripada dirinya.

Setelah itu saat, Reja bertanya, "Ada apa?"

"Gak denger, ya? Lo sibuk banget? Sampe-sampe gak pernah punya waktu buat gue?!"

"Iya." Singkat saja. Mampu membuat hati Nina tergores kembali. Entah berapa kali luka ini terjadi ... Nina tidak ingin mendrama, tapi Nina juga tidak ingin mengeluarkan Reja dari kepalanya.

Nina menghela nafas berat. Mengendalikan emosinya yang turun naik. "Lo yang bener aja! Gue nungguin lo ngebalas chat dari gue, Ja! Lo kenapa, sih?! Lo serius gak, sih sama gue?! Lo cuman pengen main-main aja sama gue?! Gue juga punya perasaan, Ja! Lo pengen gue ngerti perkerjaan lo, tapi lo gak pernah ngerti gue?! Sadar, gak sih?" Nafas Nina tersegal-segal.

"Lalu aku harus gimana?"

"TERSERAH!" Nina memutuskan sepihak teleponnya, setelah setengah berteriak. Lalu dia menyandarkan kepalanya pada dinding kamarnya. Kesunyian ini kembali lagi?

***

Stay With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang