1

33.6K 1.1K 6
                                    

Diujung do'a Ana sering bertanya, mengapa ia berbeda disaat yang lain terlahir dengan sempurna? mengapa ia sendiri disaat yang lain dapat berbagi tawa? dan mengapa bahagia tak jua kunjung menghampiri disaat luka terlalu sering datang menyapa?

Hingga akhirnya ia berhenti bertanya ketika kesadaran berhasil menamparnya. Ternyata ia hanya pemeran pembantu dalam hidup ini, yang dihadirkan hanya sebentar, sekedar memperindah kisah sempurna dari pemeran utama.

Ia bahkan sering berdosa ketika berpikir mungkin Tuhan akan tersenyum ketika melihat dirinya sengsara, ditengah-tengah mereka yang bahagia. Pada akhirnya Ana memutuskan berhenti berdo'a untuk mengharapkan bahagia, ia tidak lagi meminta ketika Tuhan seakan menutup telinga atas do'anya.

Ana takut Tuhan akan mentertawakan semua do'a yang ia minta, disaat Tuhan sudah memutuskan untuk lebih suka melihat ia berkabut duka. Jadi Kini, ia hanya akan menjalankan perannya sebaik mungkin hingga akhirnya Tuhan bosan melihatnya, lalu memutuskan untuk mengakhiri segalanya.

Jam makan siang sudah berakhir dari 10 menit yang lalu. Ana membersihkan meja restoran yang sudah kosong, menyisakan karyawan yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Meja kotor Restoran ini sudah berteman lama dengannya, ia akan membersihkan mereka ketika Restoran sudah sepi. Karena ketika ada pelanggan, ia akan diusir ke tempat dimana ia seharusnya berada.

Restoran tempat Ana bekerja merupakan salah satu restoran yang selalu ramai dijam makan siang kantor. Karena letaknya yang berada dipekarangan perkantoran sehingga membuat Restoran itu menjadi sasaran empuk bagi karyawan yang mulai bosan dengan menu makan siang di kantin kantor.

Ana memandang kesekeliling, ada 10 meja lagi yang harus ia bersihkan. Ia melirik jam yang berada didinding Restoran yang tidak jauh dari tempat ia berada.

14.30.

Bagus…
Sepertinya ia akan gagal menyaksikan hal yang sudah ia tunggu dari kemarin.

“Heh kerja, lo digaji bukan untuk bengong doang!” dorongan yang keras membuat Ana terkejut. Ia menoleh dan mendapati Nadia, teman kerjanya sedang berdiri dengan angkuh di belakangnya.

“Giliran gajian aja semangatnya minta ampun, seharusnya lo bersyukur Bos masih mau nerima karyawan seperti lo bekerja disini” kata Nadia dengan nada kesal.

Seperti biasa, Ana hanya terdiam lalu mengangguk.

“Selesai beresin meja, langsung ke belakang lagi. Banyak cucian yang harus lo kerjakan” perintah Nadia dengan tatapan sinis sebelum ia berlalu dari sana tanpa menunggu jawaban dari Ana.

Ana terdiam sambil kembali melanjutkan pekerjaan. Ia tidak ambil pusing dengan kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh rekan kerjanya. 

Bukan karena ia gadis yang kuat, tetapi karena kalimat seperti itu sudah biasa menyapa dirinya.
Jadi sudah tidak ada alasan untuk sakit hati.

11 bulan ia bekerja direstoran ini, belum ada yang bersedia menjadikannya teman. Jangankan menjadi teman, pandangan ramah saja jarang ia temukan.

Lagi dan lagi karena ia berbeda lah yang menjadi alasannya. Tetapi tidak apa-apa, ia baik-baik saja. Buktinya ia masih bertahan disini, menjalani hidup seperti seharusnya, meski harus terabaikan hampir di sepanjang hidupnya. Walau tidak jarang, keramaian justru menyadarkan jika ia hanya sendiri. 

Ana menghela nafas panjang, berusaha mengusir rasa sesak yang mulai menghampiri. Ia kembali melirik jam di dinding, lalu terpaksa kembali menghela nafas untuk kesekian kali.

Baiklah, sepertinya ia memang tidak di ijinkan untuk melihat hal yang ia sukai. Ingin rasanya ia mentertawakan jalan hidupnya ketika menyadari betapa berbedanya dirinya. Bahkan untuk sekedar memandang orang yang ia suka saja ia kesulitan.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang