Ana tersenyum ketika melihat bagaimana semangatnya anak-anak kecil itu berlari kearahnya. Mereka berlomba untuk sampai lebih dulu kedalam pelukannya. Dan langsung tertawa ketika mereka sudah berhasil berada didalam dekapannya.
Adegan ini akan terulang kembali setiap kali ia pulang ke tempat ini. Tempat dimana ia tumbuh besar, tempat dimana ia bersembunyi ketika cercaan itu semakin menyudutkannya.
Satu-satunya tempat yang bersedia menerima dirinya ketika dunia luar sedang mengusir keberadaannya. Disini, ia menemukan kesempurnaan dibalik keterbatasan yang mereka punya. Ia diajarkan bagaimana cara melihat dunia dari sisi ketidaksempurnaan.
Ana melepas pelukannya, lalu menciumi anak-anak kecil yang berada dihadapannya. Anak-anak yang bernasib tidak jauh berbeda dengannya.
“Apa kabar kalian? Hai kamu, sudah besar aja sekarang. Padahal baru 1 bulan kakak tidak melihatmu” kata Ana sembari mengelus rambut bocah perempuan berusia 5 tahun yang berada dihadapannya.
“Iya dong, Nawa makan banyak dong kak, sekarang Nawa udah suka makan sayur dong” informasinya dengan raut bersemangat. Ana tertawa kecil menanggapi ocehan bocah dihadapannya.
“Bagus, kamu memang harus banyak makan sayur, biar makin cantik”
Lalu roknya ditarik dari samping membuat Ana menoleh, ia tersenyum manis ketika melihat siapa anak yang sudah menarik roknya.
“Wulan juga suka makan sayur kak, walau rasanya enggak enak tapi Wulan selalu makan sayur. Kata Bunda, kalau Wulan rajin makan sayur nanti bisa cantik kayak kak Ana” kata bocah seumuran Nawa yang berada disamping Ana.
Ana tersenyum lalu mengelus rambut anak tersebut.
“Iya, nanti kamu bisa cantik” kata Ana lalu membetulkan letak tongkat ditangan anak tersebut.
Anak yang menutup mata itu tersenyum dengan senang mendengar kalimat Ana.
“Iya, Wulan akan secantik dan sehebat kak Ana” lanjutnya dengan wajah berseri.
“Kamu pasti lebih cantik dan lebih hebat dari kak Ana, biar nanti Bunda bisa makin bangga punya anak kayak Wulan” kata Ana berusaha menghibur Wulan, bocah tunanetra disampingnya.
Bocah itu tersenyum senang lalu mengangguk, meng-Aminkan segala ucapan dari Ana.
Ana mengedarkan pandangan, halaman panti terlihat sepi dan wanita yang menjadi alasan ia berada disini juga tidak terlihat. Biasanya dia akan berada dibelakang bocah-bocah ini, menyambut kedatangannya dengan bahagia.
Dimana dia? Apa benar Bundanya sedang sakit seperti yang dia informasikan saat menelphon pagi tadi.
“Bunda dimana?” Tanya Ana kepada bocah-bocah yang sudah mengikuti jalannya untuk masuk kedalam panti.
“Bunda di taman belakang kak, lagi nyiram bunga-bunga kakak. Bunda takut kakak marah kalau tahu bunganya jarang Bunda siram, makanya sekarang Bunda siram” kata Wulan yang jalannya dituntun oleh Ana.
Ana tertawa kecil mendengar kelimat polos dari bocah tersebut. Dan apa katanya tadi? Bundanya sedang menyiram bunga? Bukannya seharusnya ia sedang berada dikamar, untuk merehatkan diri.
“Yaudah kalian kembali bermain, kakak mau lihat Bunda” kata Ana setelah menuntun Wulan untuk duduk di kursi yang berada di teras panti.
Ana berjalan menuju taman belakang panti. Taman kecil yang berisi mawar putih. Bunga kesukaan Ana.
Dan benar, disana wanita paruh baya yang berhasil menjadi sosok Ibu untuknya sedang sibuk menyiram bunga-bunga miliknya. Ia terlihat sehat.Tidak seperti yang dia katakan di telephon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Romance" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...