17

4.9K 401 6
                                    

Ana menyusuri jalan untuk meninggalkan komplek perumahan mewah milik keluarga Raga. Ia bawa luka yang sempat ia terima dari lelaki yang ia puja. Lucu, mengapa orang yang ia sukai lah yang justru menaruh luka begitu besar untuknya. Jika bisa memilih, ia juga tidak akan pernah menginginkan lelaki itu. Jika saja hatinya bisa diajak kompromi, ia akan memohon meminta hati untuk mengalah dan berhenti. Karena ternyata, menyukai lelaki itu tidak semenyenangkan yang ia kira, justru hanya kesakitan yang lebih sering ia terima.

Teringat kejadian beberapa waktu yang lalu, apa ia salah telah mengiyakan permohonan orang tua Raga? ia tidak rela melihat kecewakan diwajah orang baik itu. Apakah ia telah sukses menjadi gadis egois dan tidak tahu diri saat ini? Ana menghembuskan nafas panjang, berusaha untuk mengusir sesak yang tiada henti terus mencekiknya.

Ana mengedarkan pandangan, komplek perumahan mewah ini terlihat sepi dan sunyi . Wajar, karena malam sudah larut. Mungkin penghuni rumah mewah yang ia lewati itu sedang beristirahat sambil bercengkrama dengan keluarganya atau mungkin ada sebagian yang sudah terlelap kedalam mimpi.

Ana terus berjalan berharap masih ada taksi di jalan besar sana. Tetapi jalan Ana langsung terjeda ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari belakang.

Ia berbalik, dan menemukan seorang lelaki tinggi dengan penampilan yang jauh dari kata rapi sedang berjalan mendekatinya. Celana jins yang robek dibagian lutut, kaos polos hitam yang dilapisi kemeja kotak dengan kancing yang dibiarkan terbuka, serta tatanan rambut yang acak-acakan.

Ana mengerutkan dahi, menajamkan penglihatan ketika merasa lelaki yang terus mendekat itu seperti tidak asing. Bola mata Ana langsung melebar ketika mengenali siapa lelaki yang telah berdiri dihadapannya. Dia pereman yang dulu di dalam bus. Penampilannya masih sama seperti dulu. Hanya saja, kini ransel yang berada di bahunya, bukan gitar seperti beberapa waktu dulu.

Perasaan tidak enak langsung menghampiri, ketika melihat lelaki yang berdiri dihadapannya ini sedang menatapnya tidak berkedip. Selama ini, ia tidak pernah suka jika dianggap sebagai hantu, tetapi malam ini bisakah preman ini menganggap dirinya hantu saja dan lari terbirit-birit meninggalkannya.

“Si..siapa kamu?” Tanya Ana dengan gemetar. Ana melangkah mundur, ketika lelaki itu mencondongkan wajah mendekati wajahnya, lalu ia tersenyum.

“Jadi, seperti ini wajahmu, rambutmu menutupi wajahmu” Ana semakin gemetar, ketika lelaki itu malah tersenyum melihat wajahnya bukan lari seperti yang ia harapkan.

“Mau..apa kamu? Kamu mau merampokku?” Tanya Ana dengan takut yang ditanggapi elaki itu dengan mengerutkan dahi, sebelum kembali tersenyum.

“Jadi kamu berharap aku merampokku? Kamu memiliki uang yang banyak?” Ana langsung menggeleng dengan cepat.

“Aku... aku tidak punya uang banyak, uangku hanya cukup untuk ongkos taksi. Ja..jadi jangan merampokku” Kata Ana dengan nada bergetar, ia berharap preman ini dapat memakluminya, walaupun itu mustahil rasanya. Bukankah kebanyakan preman itu tidak berperasaan?

Ia ketakutan sekarang, seumur hidup baru kali ini ia berhadapan langsung dengan preman. Dan itu terasa mengerikan.

“Baik, permintaan dikabulkan. Uangmu tidak akan aku ambil tetapi..

“Tetapi apa?” Ana memotong ucapan lelaki itu, lalu menyilang kan tangan didepan dada. Apa lelaki itu berniat melakukan Kejahatan yang lain?Seperti Memperkosanya mungkin?

“Kamu jangan macam-macam, aku bisa teriak dan membangunkan orang-orang untuk memukuli mu” Kata Ana berusaha untuk mengancam.

Bukannya ketakutan seperti yang Ana harapkan, lelaki itu justru tertawa kecil, seperti merasa lucu dengan kalimatnya.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang