Suasana Aula lapangan basket masih ramai oleh penonton serta para pemain yang sedang heboh merayakan kemenangan tim basket kampus. Untuk kesekian kalinya tim basket Raga kembali menorehkan kemenangan dan kebanggaan untuk kampus Trisakti.
Infinity, itu nama tim yang sudah mengantarkan mereka untuk meraih prestasi di berbagai Ajang pertandingan basket. Tim ini bukan hanya dikenal dikampus Trisakti saja tetapi tim basket tersebut sudah diketahui oleh kampus-kampus yang lain. Selain karena bakat para pemainnya yang tidak bisa diragukan lagi, maka kapten dari tim tersebut lah yang menjadi alasan utamanya. Siapa yang mampu mengabaikan wajah rupawan bak dewa tersebut.
“ Raga…”
Dia Raga Angkasa Hadiwijaya. Lelaki berpostur tinggi tegap, berkulit putih tanpa cela, mata tajam yang mampu menghipnotis siapa saja yang melihatnya, hidung mancung sempurna, bibir tipis yang selalu terlihat merah merekah, rambut hitam pekat serta disempurnakan dengan dagu lancip, rahang yang tegas dan dibonusi dengan lesung pipi di pipi sebelah kanan. Kesempurnaan seakan memang sudah diserahkan untuk dirinya. Tuhan seakan sedang bahagia saat melukiskan wajahnya.
Dengan kesempurnaan itu tidak mengherankan lagi mengapa namanya selalu di angungkan oleh kaum hawa yang sempat melihatnya. Namanya akan selalu disebut ketika ditanya bagaimana tife kekasih idaman kepada setiap mahasiswi yang ada di kampus Trisakti.
Tentu saja dia menjadi tife dari semua wanita, karena selain memiliki wajah rupawan, dia juga disempurnakan kembali dengan identitasnya sebagai pewaris tunggal Hadiwijaya Grup.
Siapa yang tidak tahu dengan Hadiwijaya Grup, perusahaan yang berjalan diberbagai bidang. Perhotelan, Proverti dan Periklanan adalah bagian kecil dari perusahaan tersebut. Hanya wanita bodohlah yang akan melewatkan kesempatan untuk mendampingi pewaris tunggal yang berwajah bak malaikat itu.
“ Ga, sini.. Elah” Raga mendengus kecil melihat Daren, teman satu tim basket sekaligus merangkap sebagai sahabat. Dia sedang bergelantungan manja di punggung salah satu teman satu timnya. Merayakan kemenangan.
Apa harus seberlebihan itu? Ini tentu saja bukan kemenangan pertama mereka tetapi mengapa harus dirayakan dengan seheboh itu.
Raga mengedarkan pandangan ke segala penjuru aula, mengabaikan panggilan dari sahabatnya.Tribun masih penuh di isi oleh kebanyakan kaum hawa yang tidak ada henti meneriakan namanya. Padahal tidak satu pun dari mereka yang ia kenal. Ia memang tife orang yang tidak mudah bergaul dengan orang yang tidak ia kenal. Pergaulannya sangat terbatas. Bukan karena dibatasi oleh orang tuanya, hanya saja ia merasa sulit sekali mempercayai orang baru dalam hidupnya.
Raga menghela nafas, menulikan telinga dari teriakan mereka di Tribun. Ia bangkit dari duduknya lalu memilih keluar dari Arena lapangan meninggalkan kebisingan dari penonton dan kehebohan teman satu timnya. Membersihkan diri rasanya jauh lebih baik dari pada melihat kegilaan temannya dan bisingnya teriakan tiada henti itu.
“ Malah pergi, woy.. hey, kampret” Daren turun dari gelantungannya lalu mengejar Raga yang sedang menuju ruangan ganti.
“ Kok pergi, anak-anak masih rayain kemenangan itu. Lo nggak mau nyobain gelantungan di punggung Roy?”. Raga mencebik kesal ke arah Daren. Jangan heran, karena sahabatnya ini memang segila itu.
“ Gerah, mau mandi” mereka sudah memasuki ruang ganti. Ruangan masih sepi.
“ Ngapain dirayain seheboh itu, berlebihan” Ucap Raga sambil berlalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari keringat yang membuatnya merasa risih dari tadi.
“ Wajar dong, ini kan pertandingan terakhir sebelum pertandingan puncak setelah wisuda nanti” Daren berdiri disamping Raga membuat Raga terkejut tentu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
عاطفية" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...