24

4.8K 351 6
                                    

Pagi sudah menyapa dan mentari kembali  bersinar seperti biasanya. Menutup kisah kemarin menjadi sebuah cerita,yang terkadang terlalu menyesakan untuk diterima.

Lalu mengapa rasa sesaknya masih tersisa jika segalanya telah menjadi lembaran cerita? Mengapa sakitnya tidak ikut tertelan sang masa? Mengapa dia tetap ada ketika raga membuka mata. Sesaknya bahkan semakin menyiksa ketika ia sadar jika segalanya bukan hanya sebatas cerita.

Pintu kamar ia buka, Raga berdiri menjulang disana. Ia mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruangan. Pandangannya berhenti di satu titik. Disudut ruangan, Ana sedang terlelap sembari memeluk diri diatas sofa.

Ia menghela nafas panjang, rasa sesak dirongga dada semakin meremas pertahanannya. Keberadaan Ana telah menjelaskan segalanya, jika semuanya bukan hanya khayalan semata. Kisah kemarin benar adanya. Dan sesak yang sedang menderanya memiliki alasan yang nyata.

Raga mencoba melangkah untuk mendekat. Menatap langsung sumber kekacauannya. Gadis itu masih terlelap disana, tidak sadar jika kekusutan sedang menunggunya.

Ia mencoba menyusuri paras Ana dengan netranya. Wajahnya terlihat damai, dengan kulit putih pucat. Dia meringkuk disudut sofa. Apa dia kedinginan? Raga mengepalkan tangan ketika gebuan ini terasa semakin menyiksanya.

Mengapa harus dia?
Dari ribuan wanita didunia ini, mengapa Tuhan menitipkan gadis ini kedalam gadis hidupnya? Apa sebenarnya tujuan tuhan, sehingga ia harus dipertemukan dengan Ana dalam garis takdir yang tak ia inginkan.

Beribu kali pun ia coba pikirkan. Jawabannya tetap sama, gadis ini adalah sebuah kesalahan. Dia tidak seharusnya berada didalam cerita hidupnya. Karena keberadaannya hanya akan membuatnya kembali tersesat dalam takdirnya sendiri. Ini menakutkan. Ia sudah pernah berada disana dan itu seperti membunuhnya. Ia tidak ingin kembali kesana dan kembali berteman dengan rasa itu. Sehingga ia selalu mensugestikan kepada dirinya jika ia akan mengusir gadis ini secepatnya.

Raga kembali mendekat, menyisakan jarak satu langkah darinya.  Tenggorokannya langsung tercekik oleh tangan tak kasat mata ketika matanya menemukan jejak luka dikakinya.

Kenapa gadis ini senang sekali membuat dirinya terlihat menyedihkan? Mengapa dia memilih berkeliaran hingga larut malam jika kakinya sedang terluka?

Raga kembali menghela nafas, mengosongkan rongga dada yang terasa menyempit hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ada yang sakit didalam sana tetapi entah dibagian mana, ia tidak tahu.

Ia membuang pandangan dari wajah Ana, matanya menemukan gaun tidur yang ia lempar semalam di ujung sofa. Gadis ini tidak memakainya dan memilih terlelap dengan gaun sialan itu. Raga langsung mengerutkan dahi ketika menyadari jika gaunnya sudah tertutup dengan jas hitam yang kebesaran.

Jas siapa itu?.

“Dritt.. dritt..” Raga mengalihkan pandangan dari raut Ana,  ketika getaran hp di saku celana berhasil mengembalikan kesadarannya.

Ia menghela nafas ketika mendapati chat dari sang Ibu untuk kesekian kalinya dipagi ini. Ingin rasanya kembali mengabaikan, tetapi rasa takut kualat menghampiri ketika menyadari sudah berapa kali ia mengabaikan panggilan dari sang Ibu.

“Apa Kalian sudah bangun? Jam berapa kalian sampai dirumah? kami sudah menunggu. Mama dan Tante sania sudah masak, jadi kalian sarapan dirumah saja”

Apa kata ibunya tadi? Mereka sudah masak? Raga tertawa miris, apa mereka disana sedang membuat penyambutan untuk dirinya dan gadis ini?

Ck, sudah Raga duga jika isi chat itu hanya akan merusak moodnya. Ia kembali memasukan hp ke saku celana tanpa berniat membalas kicauan dari sang Ibu.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang