29

5K 401 16
                                    

Hidup ibarat meniti didalam takdir. Tidak bisa terlepas walau sekejap saja. Ketika kita berusaha meninggalkan satu takdir maka percayalah jika disaat itu takdir lain sedang terbuka. Siap untuk dimulai, tidak perduli dengan sebagian mereka yang merasa enggan berada didalamnya.

Katanya takdir itu dilukiskan oleh Tuhan yang maha tahu akan segalanya. Dan segala hal yang ia rangkai tentu saja memiliki tujuan serta alasan yang sempurna. Walau tidak sedikit yang kesulitan untuk meraba makna dari segalanya.

Mungkin Ana adalah salah satunya.
Sudah 10 menit ia berdiri disana, menatap tower Apartement mewah dihadapannya sembari mencoba menguak tabir tentang alasan istimewa apa yang kira-kira sedang dijalankan oleh Tuhan dalam takdir kali ini. Mungkinkah ada bahagia dan tawa yang ikut dia ukir ditengah kemelut hidupnya?

Tetapi percuma saja, karena segalanya selalu berakhir dengan sama. Keburamanlah yang ada. Sisi gelap yang selalu menyapa ketika ia mencoba meraba setitik bahagia.

Mungkin bagian takdir yang ini ada untuk menghukum dirinya atau untuk mentertawakan rasanya, karena ia tetap memilih mencinta disaat keberadaannya saja tidak pernah diterima dengan gembira.

Iya, Rasanya itu jauh lebih masuk akal. Karena tidak mungkin ada takdir yang membawa bahagia untuk perempuan buruk rupa yang lancang menaruh rasa. Ia kerap menutup mata, berusaha mengabaikan tentang siapa dirinya ketika berhadapan dengan rasa konyol yang ia punya.

Padahal ia tahu jika cinta dari manusia sepertinya tidak lebih dari sebuah lelucon bagi mereka yang sempurna. Rasa yang hanya ditertawakan tanpa perlu adanya balasan, atau Rasa yang ada hanya untuk dikutuk hingga akhirnya dituntut untuk mengakhiri segalanya.

Mungkin memang karena itulah dirinya disini. Untuk Menerima segala Penghukuman atas dosanya, Karena selama ini ia kerap puisikan namanya dipenghujung malam, menjadikan dia sajak dalam semua lagunya serta membiarkan dia menjadi irama dalam setiap nadanya.

Ana menghela nafas panjang untuk mengusir pemikiran panjang yang bersarang dibenak. Ia mengedarkan pandangan, dan rasa sesak terasa semakin mencekik didalam sana ketika mendapati pandangan berbeda dari mereka yang sempat ia jumpai.

Mencoba mengabaikan itu semua, Ana memilih menuntun langkah untuk membawa kaki memasuki loby Apartement. 

Ana berdiri kaku didepan pintu Apartement, menatap benda itu dalam waktu lama, berharap dapat mengurangi kemelut didalam dada.
Kembali menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya ketika sesak itu tidak juga meninggalkannya.

Membayangkan bagaimana raut lelaki itu ketika melihat keberadaannya adalah alasannya.
Apa yang harus ia lakukan?

Genggaman ditali tas semakin mengerat ketika sebagian hati membisikan agar ia pergi sana. Tidak perlu menunjukan diri dan menggabungkan diri dihadapan Raga.

Mendapati raut hancur dari seseorang yang dicintainya karena keberadaannya ternyata lebih menyakitkan dibandingkan mendapatkan pandangan mengejek dari semua pasang mata diluar sana.

Ketika Ana berniat berbalik untuk meninggalkan, satu tangan terulur melewatinya yang sukses membekukannya. Raga memencet sandi Apartement dari belakangnya. Hingga akhirnya pintu terbuka.

“Berpura-pura melupakan sandinya?” Tanya Raga dengan nada datar lalu melewatinya begitu saja.

Ana terdiam dalam kebekuan. Berdiri disana sembari menatap punggung Raga yang berada diruang tamu.
Bukan, Ia tidak sedang berpura-pura melupakan sandi Apartement tadinya. Tetapi percuma mengatakan yang sebenarnya, ketika lelaki itu pasti akan kembali menyimpulkan segalanya dan memojokkannya dalam kesalahan.

“Sampai kapan kamu akan berdiri disana. Apa sampai semua manusia di gedung Apartement ini menyaksikanmu berdiri didepan Apartementku?” Raga menatap Ana dengan raut datar.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang