54

10.3K 625 52
                                    

Ana terpaku di depan pintu ketika lelaki yang menjulang tinggi dihadapannya berhasil mengacaukan apapun yang sudah berusaha ia tata dengan sempurna. Kekuatan yang sudah ia kumpulkan kembali dikacaukan oleh pandangan kosong yang diberikan oleh Raga. Dia terlihat berantakan dengan pakaian basah kuyup seperti dirinya.

Kenapa dia basah? Apa dia kehujanan juga? Tapi, dari mana dia?

Ana berusaha mengusir bisikan rasa penasaran di hati, lalu ia berjalan melewati Raga dan berusaha untuk tidak lagi menatap seperti biasanya.

Raga bukan lagi orang yang ia cinta jadi tidak seharusnya ia memberikan rasa khawatir yang berlebih ketika mendapati keadaan kacau dari lelaki tampan itu.

Lagi pula, bayangan tentang undangan pernikahan itu akan kembali menyakiti ketika netranya bertemu dengan netra tajam milik Raga.

"Kamu benar..." Akhirnya suara Raga berhasil menghentikan langkah Ana.

"Sepertinya bahagia itu memang tidak diciptakan untuk semua manusia"

Ana membalikan badan dan harus kembali terpaku untuk kesekian kalinya ketika netra Raga berhasil memenjarakannya. Disana beribu makna tersimpan rapat dalam sebuah kekosongan, dan Ana selalu gagal untuk menyelami arti tatapannya. Hanya saja, tatapan itu tidak lagi sama dengan tatapan yang ia berikan beberapa waktu yang lalu. Tidak lagi ada ketakutan seperti biasanya, karena disana hanya menyisakan kepasrahan dan kekecewaan.

Raga tersenyum kecut yang ditanggapi Ana dengan kebekuan. Senyuman itu terlihat menyedihkan.

"Aku setuju, mulai sekarang ayo menjadi orang asing yang sedang menunggu waktu untuk saling meninggalkan. Dan ketika waktunya sudah tiba nanti, mari saling melupakan. kamu boleh pergi kemanapun kamu mau, dan aku tidak akan menahanmu lagi seperti sebelumnya" ucap Raga lalu menunduk menatap lantai kosong yang mulai basah karena dirinya.

Ana terdiam mencoba memahami kalimat Raga, sebelum akhirnya ia mengangguk dengan ribuan sesak yang tersimpan rapat didalam dada.

"Setelah semua ini, kamu akan bahagia dan melupakan semua jenis luka yang berasal dari diriku. Dan aku pun, akan mencoba kembali menata apa yang tersisa"

Ana memandang lelaki rupawan dihadapannya dengan tatapan terluka. Tangis dan air mata tidak lagi ia tunjukan dihadapannya, karena lelaki ini tidak lagi berhak menerima satu tetes air mata pun darinya. Bukankah ia kini membencinya? Jadi terlepas darinya adalah kebahagian yang sesungguhnya.

"Tentang apa yang sudah kukatakan, anggap aku tidak pernah mengatakannya. Seperti dirimu yang begitu mudahnya menarik pengakuanmu, maka aku pun akan menarik semua kalimat menahan kepergian mu" Raga mengangkat wajahnya dan menemukan netra Ana yang sedang menatapnya dengan tatapan hampa.

"Dan... Silahkan berhenti mencintaiku seperti seharusnya. Itu sama sekali tidak akan menakutiku, seperti yang kamu katakan, kita bukanlah orang yang akan menjadi pemeran utama dalam kisah masing-masing. Jadi, ayo kita akhiri dan kembali ke sisi pemeran utama yang sebenarnya" ucap Raga lalu tersenyum kecil.

Ana menelan Saliva dengan susah, sesuatu terasa mencekik semakin kuat didalam sana. Akhirnya ia mengangguk dengan yakin.

"Baik, aku senang akhirnya kita sepemikiran" ucap ana dengan suara serak. Raga mengangguk dengan pelan.

"Dan semua dugaanmu benar, perlakuanku tadi malam adalah untuk pembalasanku. Jadi kita impas sekarang" ucap Raga dengan membuang pandangan dari wajah Ana.

"Jadi, silahkan membenciku sekuat yang kamu bisa, karena memang itulah yang aku harapkan selama ini"

Ana menunduk, berusaha terlihat baik-baik saja ketika hati sedang kewalahan menahan tonjokan sakit dari kalimat Raga. Satu tetes air mata kembali terjatuh, kembali mengkhianati logika yang sedang berusaha untuk membenci.
Ana mengangkat kepala dan berusaha untuk tersenyum.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang