36

5.9K 409 13
                                    

Ana mengalihkan pandangan dari buku dihadapannya, ia melihat keluar jendela. Sileut kekuningan sudah menghiasi langit sore.

Senja...
Entah mengapa, selalu ada sendu setiap netra menemukan keberadaannya. Mungkin karena gelap yang turut dia bawa.

Ana membereskan buku diatas meja. Sudah waktunya ia kembali ke Apartement Raga. Selama 1 Minggu lebih pernikahan, selalu begini. Rutinitasnya monoton tanpa ada warna didalamnya.

Setiap pagi ia akan berangkat cepat untuk bekerja, setelah itu ia akan lanjut kuliah dan setelah kuliah selesai, ia akan menghabiskan waktu di perpustakaan lama. Menunggu hari menuju senja. Mengurangi keberadaannya disana, agar tidak perlu terlalu sering bertatap muka dengan Raga.

Ana membuka pintu perpustakaan, dan ia terpaku ketika mendapati siapa yang berdiri dengan tampang marah disana. Meyra.

Mengapa kekasih suaminya berada disini? Dan mengapa dia bisa tahu jika ia berada di perpustakaan yang jarang dikunjungi ini?

Ana terdiam memandang wajah Meyra yang masih menatapnya dengan tatapan murka. Entah kesalahan apa lagi yang ia perbuat sehingga membuat kekasih suaminya  ini menunjukan raut membunuh seperti saat ini.

“Ikut gue” katanya sembari melewati Ana yang berdiri didepan pintu.

Ana masih berdiri disana, tidak tahu harus berbuat apa. Raga sudah mengingatkannya untuk tidak menunjukan diri dihadapan kekasihnya. Dan selama ini, selalu ia patuhi.

Setelah kejadian di Apartement satu Minggu yang lalu, ia tidak pernah menunjukan diri dihadapan Meyra.  Walaupun ia tahu Meyra kerap menghabiskan waktu bersama Raga. Ana tidak bisa berbuat apa-apa ketika keberadaannya saja tidak pernah dianggap ada.

Ana terkejut ketika tarikan kasar ia dapati dari belakang, dan kini ia telah tersungkur ke lantai dengan kepala membentur sudut rak buku.

Ana meringis ketika rasa sakit menghantam dahinya. Ia menyentuhnya dan darah segar terasa mengalir disana. Ana bangun dari lantai dan berusaha mengabaikan rasa sakit dari dahi.

Ia memandang Meyra yang tetap terlihat santai, tidak terlihat raut bersalah diwajahnya.

“Gue udah nyuruh lo ngikuti gue dengan baik-baik” kata Meyra seakan mencari pembenaran atas perbuatannya.

“Ada apa, aku harus pulang” kata Ana yang disambut dengan tawa mengejek oleh Meyra.

“Pulang? Pulang kemana? Dibawah jembatan mana alamat lo?” Tanya Meyra dengan tatapan sinis.

“Maksudku pulang ke Apartement tuan Raga” lanjut Ana yang dibalas Meyra dengan raut wajah murka.

“Jangan sembarangan berbicara. Kata pulang tidak pernah cocok untuk lo jika itu ditujukan untuk Raga. Karena dia tidak akan pernah menjadi rumah untuk lo, dan kepulangan lo juga tidak pernah dinantikan oleh kekasih gue.” Kata Meyra dengan wajah serius.

Ana terdiam ketika menyadari apa yang dikatakan oleh Meyra adalah kebenaran. Raga memang tidak akan pernah menjadi rumah untuknya, dia tidak akan pernah menjadi tempat berlindung dan bersembunyi dari semua hal yang menyakitinya.

“Gue hanya ingin menjelaskan satu hal Tentang siapa gue dan siapa Lo dihidup Raga” kata Meyra

“Asal Lo tahu, dimata Raga lo tidak pernah lebih dari seorang pelacur yang rela menggadaikan hidup untuk menghancurkan hubungan kami. Kami yang saling mencintai terpaksa mengalah untuk manusia seperti Lo” kata Meyra

Ana terdiam menunggu kalimat lanjutan dari Meyra, kalimat penegasan tentang posisinya. Kalimat yang seharusnya tidak perlu dia utarakan, karena tanpa kembali dijelaskan pun, Ana sudah cukup tahu dimana posisinya di kehidupan Raga. Dia akan selalu berada di luar dan tidak akan pernah diijinkan untuk memasuki setiap garis yang sudah ditetapkan oleh Raga.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang