Ana menatap langit malam, yang terlihat lebih bersahabat dari malam sebelumnya. Ia memeluk diri dibalkon kamar sembari mengumbar senyuman ketika netranya menemukan benda bercahaya yang selalu ia suka.
Bintang.
Selalu ada senyuman yang terukir ketika netra menemukan keberadaannya. Benda kecil yang berkilau itu masih menjadi favoritnya. Rasanya tak terhitung, sudah berapa kali ia jatuh cinta kepada penghias malam itu.
Benda yang tidak pernah takut ketika disandingkan dengan malam. Ia tetap bersinar terang walau hanya ditemani oleh kegelapan. Ia selalu akrab dengan gulita ketika terang hanya berhasil melenyapkan sinarnya. Yang akhirnya menyadarkan Ana, jika luka itu tidak selamanya tentang derita. Bahagia pasti terselip diujungnya. Walau entah kapan dia akan menyapa, datang menghampiri sembari membawa tawa, yang akan abadi di lembar akhir cerita. Begitulah ending yang selalu ia panjatkan dalam setiap do'a yang ia langitkan.
Walau ia tahu jika semua akan sia-sia. Karena sudah lama, Asa itu terongsok disudut hampa. Menjadi serpihan luka, yang tidak pernah berhasil ia rakit menjadi bahagia.
Ana mengangkat tangan, mulai menarik garis dari satu bintang ke bintang yang lain. Menciptakan pola untuk melukiskan nama lelaki itu disana. Kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan setiap kali benda bersinar itu hadir menyapa malamnya.
Ana tersenyum, mengakhiri kegiatan untuk melangitkan nama Raga. Berharap Tuhan melihatnya, agar sekiranya ada satu saja asanya yang dijawab dengan bahagia.
Walau hati kecilnya mengatakan itu mustahil. Karena tidak akan ada ending yang bahagia, ketika ia sedang menempatkan hati ditempat yang tidak seharusnya.
Lagi pula dalam kisah ini, mereka memiliki definisi ending yang berbeda. Jika menurut Ana, ending yang bahagia itu adalah tetap bersama. Maka bisa dijamin, makna ending yang bahagia bagi Raga adalah sebaliknya. Melenyapkan keberadaannya dan kembali bersama Meyra. Mungkin itulah definisi kebahagian yang sesungguhnya bagi Raga.
Ana menghela nafas, berusaha mengakhiri pikiran yang berakhir membawa luka. Karena, entah sejak kapan, ia tidak lagi suka membayangkan Raga kembali bersama Meyra. Kebersamaan mereka berhasil menjadi sumber kesakitan yang pertama untuknya.
Ana memasuki kamar, meninggalkan balkon kamar ketika dinginnya angin malam mulai terasa menyapa kulitnya. Membuat rasa nyeri di perut semakin terasa. Sepertinya, Jadwal makan yang tidak menentu, membuat magnya kambuh.
Ana melangkah keluar kamar untuk mengambilkan air hangat. Mungkin dengan minum air hangat dapat mengurangi nyeri di perut yang sudah 2 hari ini ia rasakan.
“Apa yang kamu lakukan?”
Hampir saja Ana menjatuhkan gelas yang ada ditangan ketika suara berat itu menyapa secara tiba-tiba. Ana membalikkan badan dan mendapati Raga sedang berdiri dengan tampang keras dihadapannya.
Entah sejak kapan dia berada disana, lelaki ini hoby sekali muncul secara tiba-tiba yang berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Aku hanya mengambil air hangat tuan, aku pikir tadi tuan sudah tidur” jawab Ana menunjuk gelas ditangannya, airnya masih penuh, karena belum sempat ia minum.
Ana memandang wajah Raga ketika lelaki itu hanya bungkam, enggan menanggapi kalimatnya. Dia hanya berdiri dengan raut yang jauh sekali dari kata lembut.
Entah kesalahan apa lagi yang sudah ia perbuat, sehingga mampu menciptakan raut marah diwajah Raga, raut yang sudah ia dapati semenjak ia memasuki Apartement ini.
Mencoba Mengabaikan itu semua, Ana melangkah berniat untuk meninggalkan. Membiarkan lelaki itu kembali sendiri, agar keberadaannya tidak perlu menambah daftar kemarahan Raga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Romance" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...