20

8.7K 358 0
                                    

Ana membuka jendela kamar kecil yang sudah beberapa bulan tidak ia tempati. Ia mendudukan diri di kursi di depan jendela, itu adalah tempat favoritnya di ruangan kecil ini. Angin malam langsung menyapa wajahnya. Ana mendongak, menatap langit malam yang tidak berhiaskan bintang. Hanya gelap dan pekat yang ada disana. Bulanpun enggan untuk menunjukan diri, memilih bersembunyi dibalik awan hitam.

Mungkin keadaan langit malam adalah gambaran hatinya untuk saat ini. Gelap, tanpa ada harapan di dalamnya. Ini terasa aneh, seumur hidup, ia tidak pernah berani membayangkan jika dirinya akan dilamar oleh seseorang. Itu terlalu mustahil untuk menjadi nyata. Ana pikir, ia selamanya akan hidup sendiri, menua sendiri, dan akan menutup usia dalam sepi, lalu tidak ada satu orangpun yang akan menyadari jika dirinya telah selesai dari kehidupan ini.

Setidaknya, itulah yang dia bayangkan sebelum akhirnya malam ini tiba. Mereka datang melamarnya, lelaki itu didampingi oleh orang tuanya, meminta ijin untuk menikahi dirinya dengan sopan kepada Bundanya. Bukankah ini lucu, bagaimana bisa Raga  bersikap begitu tenang tadi. Apa dia sedang berakting menjadi lelaki yang menginginkannya?

20 menit yang lalu, mereka telah berpamitan, mengakhiri pembicaraan yang berujung pernikahan.
rasanya waktu berjalan begitu cepat, sehingga 1 Minggu berlalu begitu saja membuat dirinya harus berada diposisi saat ini. Ia akan menikah dengan lelaki yang ia sukai. Ia akan berada di sisi lelaki yang mati-matian ia kagumi. Bukankah seharusnya ia bahagia? Bukankah seharusnya ia berteriak histeris meluahkan segala rasa syukur?, tetapi mengapa hanya ada rasa sesak dan khawatir yang menghantui. Hatinya membisikan jika ini adalah kesalahan. Ini adalah awal dari kehancurannya. Hatinya mengatakan jika ini bukan kebahagiaan yang dijanjikan oleh Tuhan untuk imbalan atas kesabarannya. Ini bukan anugerah atas do'a yang setiap malam ia panjatkan. Tetapi ini hanya permainan takdir, tuhan sedang bersandiwara dengan hidupnya.

Ana mengakhiri lamunan ketika Pintu kamar kecilnya terbuka, Ana menoleh dan mendapati wanita paruh baya sedang berdiri disana. Ia berdecak lalu berjalan mendekat.

"Kebiasaanmu itu belum juga berubah, angin malam tidak baik untuk kesehatanmu nak" Dia menghampiri lalu menutup jendela begitu saja.

Ana tersenyum manis, ia merindukan Omelan dari wanita ini. Ana pindah duduk diatas kasur usang miliknya, diikuti oleh bundanya. Ana memeluknya untuk meluahkan rasa rindu.

"Ana merindukan bunda" Ucap Ana sambil menenggelamkan kepalanya dipelukan wanita renta ini.

Bundanya terkekeh lalu mengecup pucuk kepala Ana. Ia menyayangi gadis kecilnya ini. Gadis yang selalu terlihat kuat walau dunia sedang menjauhinya.

"Bohong, jika kamu merindukan bunda, lalu kenapa tidak pernah pulang beberapa bulan ini" Todongnya sambil bercanda.

"Ana kan kerja bunda, bos Ana suka sekali mengomel sama seperti bunda" Balas Ana

"Kamu sering dimarahi bos mu?" Ia bertanya dengan wajah khawatir.

"Nggak.. dia baik sekali. Dia bahkan mau menerima Ana bekerja di restorannya. Dia hanya mengomel ketika Ana lalai dalam pekerjaan" jawab Ana dengan sedikit berbohong.

"Bunda jadi penasaran bagaimana cantiknya kamu saat memakai seragam Karyawan Restoran itu" Kata bundanya sambil mengelus rambut lurus miliknya. Ana terdiam lalu tersenyum kecil, enggan untuk menanggapi. Ia tidak ingin menambah daftar kebohongannya untuk malam ini.

Bundanya tidak akan bisa melihatnya memakai baju karyawan Restoran itu, karena ia tidak pernah dianggap sebagai karyawan disana. Restoran itu pasti akan terlihat mengerikan jika memiliki karyawan seperti dirinya. Jadi mereka selalu menyembunyikan keberadaannya dibelakang Restoran. Tetapi walau begitu Ana bersyukur, karena masih diijinkan untuk bekerja ditempat tersebut.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang