Raga berlari secepat yang ia bisa mencari lift untuk menuju unit Apartementnya. Pesan yang masuk beberapa menit yang lalu membuatnya ketakutan luar biasa. Raga keluar dari dalam lift dan kembali berlari menuju nomer Unitnya. Ia membuka pintu dengan tergesa-gesa. Dan ia terpaku ditempat ketika pintu telah terbuka. Ia seperti kehilangan nafas, tubuhnya tidak bisa bergerak untuk masuk dan memastikan jika penglihatannya salah.
"To..tolong..." Gadis kecilnya berlumuran darah terbaring lemah dilantai Apartement. Dia mengulurkan tangan dengan lemah, meminta ditolong. Pandangan sayu, jelas menahan kesakitan dan ketakutan.
Raga gemetar ditempat, tidak berani melangkah untuk mendekat.
" Tol..ong, ka..k tolo..ng, sak..it"
" Kayla..." Raga terbangun dari tidur dengan nafas memburu, mimpi sialan itu datang lagi.
Raga mencoba duduk diatas kasur sembari menenangkan detak jantung yang berdetak tidak karuan, mimpi itu tetap saja menakutkan walau nyaris setiap malam mengunjunginya. Ia gemetar dalam duduknya, ia bahkan berkeringat banyak. 4 tahun berlalu, mimpi itu tidak pernah sudi untuk berlalu, entah karena apa.
Raga mengusap wajahnya dengan kasar, ia mengedarkan pandangan keseluruh sudut kamar Apartement, hanya ada kesunyian dan kegelapan yang ia dapati. Ia sendiri disini, berusaha meredakan ketakutannya seorang diri, selalu saja begitu.
Setelah jantungnya sedikit tenang, ia meninggalkan kasur lalu memasuki kamar mandi, mungkin perasaannya akan sedikit tenang setelah membersihkan diri. Lagi pula, ia ada bimbingan jam 9 pagi ini.
Raga berdiri di kamar mandi, menatap raut wajahnya yang kacau dikaca kamar mandi. Kemeja putih yang ia pakai tadi malam kini telah kusut diberbagai tempat. Begitupun dengan celana hitamnya.
Raga menghela nafas panjang, ingatannya kembali ke kejadian semalam. Kejadian dimana ia mendatangi panti asuhan dan melamar gadis itu dihadapan bundanya dengan sopan. Raga tertawa miris, mentertawakan jalan hidupnya sendiri. Rangkaian takdir yang luar biasa hebat, telah menyeretnya hingga terdampar di posisi saat ini.
Ia akan menikah. Tentu saja ia pernah membayangkan jika suatu saat ia akan menikah. Tetapi bukan dengan gadis itu, bukan dia perempuan yang ada dalam bayangannya. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan, dan bukan dengan perasaan gamang seperti saat ini.
Ia pernah membayangkan jika suatu saat nanti ia akan menikah, itu harus dengan orang yang ia cintai. Ia pasti akan sibuk dengan konsep pernikahan yang diinginkan oleh istrinya. Mereka akan mencoba gaun pengantin dengan rasa bahagia. Lalu ia akan mengundang seluruh keluarga dan temannya untuk menyaksikan betapa cantik istrinya.
Tetapi, sepertinya bayangan dan harapan indah itu terpaksa ia kubur ketika melihat bagaimana kenyataan yang menghampiri takdirnya. Satu minggu lagi, ia akan menikahi gadis yang bahkan tidak ia kenal, ia tidak tahu bagaimana latar belakang gadis itu. Dan tentu saja ia tidak mencintainya. Mengapa Tuhan tidak pernah mengiyakan apa yang ia inginkan.
Suara bell Apartement membuyarkan lamunan Raga. Lamunannya membuatnya hanya berdiam diri di depan cermin tanpa melakukan apapun. ia menghela nafas lalu keluar dari kamar mandi. Siapa yang bertamu sepagi ini? Apa itu orang tuanya? Karena hanya mereka yang biasanya mengunjungi Apartementnya.
Raga terkejut ketika melihat wajah cantik kekasihnya lah yang ia jumpai ketika membuka pintu.
"Aku sudah seperti tamu saja, kamu sebaiknya kasih tahu aku sandi Apartementku" Meyra terlihat merajuk.
"Kenapa kamu kesini?" Raga bertanya kebingungan yang membuat Meyra memandang Raga dengan alis terpaut.
"Kenapa aku tidak boleh mengunjungi Apartementnya kekasihku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Romance" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...