9

5.7K 448 3
                                    

Perempuan buruk rupa?
Rasanya Ana ingin tertawa keras, mentertawakan pertahanan hatinya yang harus selemah ini. Mengapa hanya karena kalimat tersebut pertahanannya hampir runtuh. Dan sejak kapan mata ini bisa berkaca-kaca, air mata itu terus mendesak ingin dibebaskan. Padahal sudah belasan tahun air mata itu enggan keluar, seperti lupa bagaimana cara untuk menyapa dunia. Tetapi hari ini berbeda.

Hinaan, cibiran bahkan pukulan. Itu bukan suatu hal yang besar untuk dirinya. Ia sudah akrab dengan itu semua. Diteriaki monster oleh mereka diluar sana juga ia tidak apa-apa. ia bahkan mampu membalasnya dengan senyuman dan berlalu dengan perasaan biasa saja. Tetapi kali ini, kenapa hanya karena kalimat yang berisi 3 kata dari Raga mampu menjungkir balikan pertahanannya. Raga membuatnya keluar dari kepura-puraannya. Dia membuat Ana kembali menjadi Ariana yang lemah.

Lamunan Ana terusik ketika gengaman hangat kini membungkus tangannya. Ia mengangkat wajah, lalu berusaha tersenyum semanis mungkin kepada mereka yang ada dihadapannya. Lamunan panjang membuat ia melupakan jika kedua orang tua Raga masih disini, didepan dan disampingnya, dan tentu saja sedang menatap dirinya dengan pandangan mengiba.

Ana tidak suka ini. Hidupnya mungkin tidak seberuntung mereka yang diluar sana tetapi ia tidak pernah suka dikasihani. Membebani orang lain adalah pilihan terakhir dalam hidupnya. Rasanya diabaikan jauh lebih baik, dengan begitu tidak ada satu orang pun yang diberatkan karena keberadaannya. Karena keburukan takdirnya cukup ia saja yang merasakan, tidak perlu dibagi dengan siapapun.

Ia bisa bertahan walau sendiri. Ia mampu melangkah walau sepi. luka dari belasan tahun yang lalu telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat. Kekejaman dunia memaksanya terus berjalan walau tanpa sandaran. Menuntutnya berlari meski tanpa pegangan. Ia terbiasa berjuang sendirian.

“Maafkan dia, dia pasti menyakitimu” Ana menatap wajah ibu Raga, rautnya terlihat memelas. Dia pasti merasa bersalah untuk kesalahan anaknya.

Ana langsung menggeleng, karena wanita ini tidak perlu merasa bersalah, disini tidak ada yang pantas disalahkan selain dirinya.

“Tuan Raga tidak menyakitiku” Kata Ana yang jelas-jelas berbohong. Karena apapun yang keluar dari mulut Raga, semuanya sukses meremas sisa pertahanannya.

“Nyonya tidak perlu minta maaf, saya yang salah. Kekacauan ini tidak ada jika bukan karena saya, saya minta maaf nyonya”. Genggaman ditangan ana terasa semakin mengerat.

“Tidak, kamu tidak perlu merasa bersalah, kami mempercayaimu” Kata Sinta. Ana tertegun mendengar kalimat Sinta. Ia memandang wajah kedua orang tua lelaki itu bergantian. Ada senyuman dibibir mereka, dan untuk pertama kalinya Ana melihat senyuman diwajah Ayah lelaki itu. itu senyuman tulus, bukan senyuman mencemooh seperti yang kerap ia terima. Pertanyaan demi pertanyaan kini menghampiri. Bagaimana bisa mereka yang ada dihadapannya ini tidak merasa risih berada didekatnya? Bagaimana bisa mereka tidak memandang beda ketidaksempurnaannya? dan bagaimana bisa mereka mempercayai dirinya begitu saja?.

“Tuan Raga tidak melakukan apapun yang tuan dan nyonya pikirkan. Tuan Raga tidak perlu menikahi saya”
Sultan dan Sinta saling pandang untuk sesaat sebelum kembali menatap Ana dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibir mereka.

“Tentu saja pernikahan itu harus ada, saya sepenuhnya mempercayaimu, saya tidak mungkin membiarkan anak saya dengan mereka-mereka yang sulit untuk saya percayai”

Ana terdiam walaupun ia tidak mengerti dengan apa maksud ucapan Sultan. Jika Mereka mengaku mempercayainya, lalu mengapa mereka seakan memaksa pernikahan itu harus ada. Bukankah seharusnya mereka bersyukur, karena anak lelaki kebanggaan mereka tidak perlu menikahi perempuan seperti dirinya. 

“Saya akan pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan tuan Raga, saya tidak akan menceritakan kejadian ini kepada siapapun. Kalau itu yang tuan dan nyonya khawatirkan”

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang