Hujan deras turun dari 30 menit yang lalu. Awan mendung telah menguasai, mengusir cerahnya sinar matahari yang sempat menghampiri. Ana menatap kaca Restoran. Hujan membuatnya berair. Ana masih mengingat, waktu kecil jika ia sering mengukir namanya dikaca jendela kamar yang berembun karena hujan. Ia akan tersenyum melihat namanya, sebelum akhirnya akan kembali hilang dirusak rintik hujan.
Ana selalu menyukai hujan, tetapi ia tidak bisa merasakan bagaimana berada didalamnya. Dulu Bundanya kerap keropatan setiap ia habis kehujanan. Disaat anak panti yang lain sedang tertawa bahagia mandi hujan, disana Ana hanya terdiam, menjadi penonton, menatap mereka dari jendela kamar sembari mengutuki dirinya sendiri yang terlalu lemah, yang membuatnya terpaksa selalu melewatkan hujan yang ia sukai.
Walau Ana menyukai hujan, tetapi ia membenci petir. petir membuatnya ketakutan dan merasa benar-benar sendiri. Dahulu ia selalu menangis ketakutan setiap kali petir menghampiri. Dan dengan bodohnya Ana pernah protes kepada tuhan mengapa hujan yang ia sukai harus membawa petir yang ia takuti?. Seharusnya mereka tidak perlu bersisian.
"Ana.."
Panggilan itu mengakhiri lamunan Ana. Ia menoleh, memutus pandangan dari jendela di sampingnya. Ia tersenyum melihat wanita baik dihadapannya. berapa lama ia sudah melamun hingga melupakan keberadaan lbu Raga.
"Ada apa? apa ada yang kamu khawatirkan, kamu terlihat melamun dari tadi?" Tanya Sinta khawatir yang membuat Ana langsung menggeleng. Lalu tersenyum manis.
"Tidak ada Nyonya, saya sedang memandang hujan. Saya selalu menyukainya"
Sinta ikut tersenyum mendengar jawaban Ana, lalu dia ikut memandang keluar jendela. Diluar memang hujan deras belum juga mereda. Memaksa mereka terkurung di Restoran ini hampir satu jam.
"Habiskan makananmu, berat badan kamu harus meningkat. Gaun tadi pasti terlihat lebih sempurna lagi jika badan kamu lebih berisi. Menantuku harus terlihat luar biasa di hari pernikahan nanti" kata Sinta dengan raut bahagia.
Ana ikut tersenyum, tidak ingin merusak kebahagiaan wanita dihadapannya. Walaupun semuanya berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia tidak tahu harus merasakan apa, bahagia dan khawatir menghampiri diwaktu yang sama.
Beberapa jam yang lalu, ia baru saja mencoba gaun pengantinnya yang luar biasa mewah. Wanita baik itu, memilih gaun terbaik untuk dirinya.
Ana benar-benar merasa tidak akan pernah cocok dengan gaun itu. Tetapi lbu Raga terlihat sangat kagum ketika melihat ia mengenakan gaun itu. Dia mengatakan jika dirinya terlihat luar biasa cantik. Hampir saja Ana tertawa mendengar pujian itu, bagaimana bisa dia mengatakan dirinya terlihat cantik disaat pegawai butik saja sedang berbisik-bisik membicarakan dirinya dan kekurangan diwajahnya. Mungkin lbu Raga sedang berusaha untuk menyenangkan hatinya. Berbicara Raga, lelaki itu tentu saja tidak ada. Kata lbunya, Raga telah mencoba Pakaiannya kemarin.
Ana tersenyum kecut ketika menyadari, mungkin lelaki itu malu mendatangi butik bersama dirinya. Jelas sekali jika dia tidak ingin orang-orang tahu jika ia adalah calon istrinya. Mungkin jika Meyra yang berada disini, lelaki itu pasti tidak akan bersikap seperti sekarang. Tentu saja mereka akan datang bersama sambil mengumbar senyuman dengan tautan tangan yang tak pernah dilepas oleh Raga.
Ana mengusir kerumitan dipikirannya, ia menatap makanan dihadapannya, ia belum pernah mencoba memakan makanan seperti ini. Harga makanan ini membuat Ana meringis. Harga makanan ini bahkan lebih mahal dibandingkan uang kostnya selama 1 bulan.
Ana menyapu pandangan ke seluruh sudut Restoran. Tentu saja semua yang ada disini berharga mahal. Restoran ini mewah sekali, bahkan berkali-kali lipat lebih mewah dari Restoran tempat ia bekerja. Jika bukan karena wanita dihadapannya ini, mungkin seumur hidup pun ia tidak akan mampu memasuki Restoran ini. Jika ia datang sendiri dan bukan bersama Sinta, sudah bisa dipastikan Satpam didepan akan mengusir dirinya. Tidak ingin membuat risih orang-orang didalam Restoran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Romansa" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...