Seperti dejavu, Ana kembali berdiri disini seperti beberapa Minggu yang lalu. Hanya saja saat itu ia dilempari dengan tatapan curiga dari Satpam rumah mewah ini. Tetapi kali ini, Satpam itu sedang memberikan senyuman tulus sembari berlari untuk mendekati.
“Non Ana?” Satpam bertanya dengan nada lembut, berbeda sekali dengan malam itu.
Ana mengangguk dengan senyuman yang tak kalah tulus.
“Iya pak. Saya Ana, Ariana. Tuan Raga menyuruh saya menemuinya disini” kata Ana, berusaha menjelaskan agar ia tidak diusir kembali.
Satpam mengerutkan dahi mendengar ucapan Ana, seakan ada yang salah dari kalimatnya.
“Iya, Tuan Raga sudah menunggu didepan, Nyonya dan Tuan juga sudah lama menunggu didalam” balas Satpam setelah beberapa detik terlihat berpikir.
Ana mengalihkan pandangan, ia menatap bangunan megah yang berdiri kokoh dengan tiga lantai dihadapannya.
“Silahkan masuk Non” kata Satpam ketika melihat kebekuan Ana.
Ana mengangguk kecil lalu melangkah memasuki gerbang.“Terimakasih pak”
Ana mencoba menuntun langkah ketika kaki terasa berat untuk berhanjak. Entahlah, hatinya tiada henti membisikan jika banyak luka yang akan ia terima dirumah ini. Kemegahan bangunan dihadapannya tidak dapat membuat ia bergembira, rasanya ia ingin berlari dari semua kenyataan yang ada.
Dari setiap langkah yang ia hela, hanya ada rasa takut dan khawatir yang terus menerus mengiringi, tiada berniat melepaskan walau sesaat saja.
Dan kini, rasa bersalah juga sudah turut menjelma, ketika netranya menemukan keberadaan Raga didepan sana, dia sedang menatapnya dengan tatapan yang jauh dari kata lembut dan hangat seperti seharusnya.
Ana menghentikan langkah, ketika kakinya terasa semakin berat untuk mendekat. Ia menatap Raga yang juga masih menatapnya. Demi tuhan, ia berani bersumpah jika ia mencintai lelaki itu dengan begitu hebatnnya. Mengacaukan apapun yang diinginkan lelaki itu tidak pernah terbesit walau sedikit saja.
Tentang situasi saat ini, Ia tidak pernah memintanya tetapi tuhan yang memberikannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa ketika takdir telah menjalankan tugas dengan begitu baiknya. Dan rasanya, Melawan takdirpun bukanlah kemampuannya.
“Mau sampai kapan kamu berdiri disitu, apa perlu aku menjemputmu dan menggandengmu kedalam?” tanya Raga ketika melihat kebekuan Ana.
Ana menelan saliva dengan kasar. Udara yang masuk ke rongga dada terasa semakin sedikit, sehingga mengharuskan ia menghela nafas berulang kali sebelum kembali melanjutkan langkah untuk mendekat.
Raga yang berdiri menjulang didepan Ana, ikut menghela nafas. Seakan Menyiapkan hati dengan apapun yang akan ia temui didalam sana. Karena ia percaya, apapun yang sedang menanti didalam sana bukanlah sesuatu yang ia suka. Kebahagiaan yang tercipta diatas kekacauannya, bukanlah hal yang harus ia terima dengan rasa gembira.
Raga membuka pintu, Mengakhiri segala gemelut didalam dada. Menyaksikan seluruh pasang mata yang ada didalam sana kini sedang menatap kearahnya dan gadis yang ada dibelakangnya. Senyuman dan raut bahagia langsung tercipta diwajah mereka. Bahkan kini ibunya sedang berlari kecil kearahnya, seakan terlalu lama jika ia saja yang datang menghampiri.
Hatinya seperti ditampar dengan begitu keras ketika mendapati Ibunya sedang tersenyum kepadanya. Kapan terakhir kali ia melihat senyuman setulus itu?Sudah lama sekali ia tidak mendapatkannya. Raut bahagia itu sudah sejak lama menghilang dari netranya.
Tetapi mengapa senyuman tulus itu harus ada melalui kehadiran Ana? Mengapa raut bahagia itu harus kembali tercipta seiring dengan kehancurannya.
Lihat, sekarang lbunya telah mengabaikannya dengan menghampiri gadis dibelakangnya. Dia menggenggam tangan Ana dengan pandangan sayang yang tidak dibuat-buat tentunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Romance" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...