Hujan deras turun tanpa jeda menjadi pelengkap gelapnya gulita. Ana meringkuk dipangkuan ibunya. Berpura-pura terlelap, Sembari mendengarkan isak kecil dari lbunya. Lalu suara lembut sang Ayah terdengar menenangkan. Mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. Pengusiran yang baru saja mereka terima tidak akan merubah segalanya. Ayahnya selalu menjadi sosok yang kuat. Padahal Ana tahu jika ayahnya juga sedang sekarat.
“Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Lambat laun mereka akan mengerti juga. Jangan menangis lagi, nanti Ana terbangun. Kasihan, dia akan kebingungan melihatmu menangis”
Itu kalimat terakhir yang Ana dengar dari sang Ayah sebelum akhirnya suara benturan keras memenuhi telinga. Goncangan hebat ia rasakan hingga membuatnya terlepas dengan keras dari dekapan sang Ibu.
Ana tidak tahu apa yang terjadi, ia masih menutup mata. Tetapi teriakan sang Ibu yang memanggil namanya memaksa ia membuka mata.
Jantungnya seketika berhenti bekerja. Ia membeku disana. Memperhatikan sang Ibu yang sedang mengulurkan tangan berusaha untuk menggapainya.
Ia menangis, Ia gemetar dengan hebat ketika kabut malam tidak lagi mampu menutupi banyaknya darah yang menggenangi lbunya.
Ana menggeleng dengan kuat. Tidak mau melihat apapun yang ada dihadapannya. Ia kembali menutup mata berharap yang ada hanya ilusi semata, tetapi ketika ia membuka mata, kesakitan yang ia terima justru terasa semakin nyata ketika netranya menemukan sosok sang Ayah yang telah terlelap dengan balutan darah dikepalanya. Dia tidak lagi berdiri kokoh berperan sebagai pelindung seperti biasanya.
“Ana...” Suara lirih dari sang Ibu seperti meninju sisa pertahanannya. Ia memandang Ibunda dengan linangan air mata.
“Ibu..” Ana terisak ditempatnya
“Pergi...” Perintah lbunya dengan suara hampir tidak terdengar.
Ana menggeleng. Ia tidak mau pergi. Ia tidak mau meninggalkan Ayah dan lbunya. Ia merangkak mendekat. Berniat menggapai tangan sang Ibu. Tetapi segalanya kembali gelap. Ia terpelanting dengan kuat dan suara benturan keras kembali mendera ditelinga. Rasa panas yang luas biasa kini terasa diwajahnya.
Ia menutup mata, benar-benar menutup mata tanpa ada kepura-puraan seperti biasanya.Anehnya, dalam pejamannya ia justru melihat sosok Ayah dan lbunya yang sedang tersenyum kepadanya, tanpa ada darah dan linangan air mata. Mereka melambai dengan raut bahagia. Lalu mereka semakin menjauh ditelan pekatnya malam.
Ana berusaha membuka mata tetapi tidak bisa, ia ingin berlari tetapi tubuhnya terasa berat untuk mengejar. Ia ingin berteriak, memanggil mereka yang telah jauh diujung sana. Tetapi tiada suara yang terdengar, mulutnya tidak dapat terbuka walau hanya sekedar menyebut kalimat jangan pergi. Hingga Akhirnya Ana mengerti, jika ia telah ditinggalkan.
Petir yang menggelegar dengan keras, menarik Ana dari kesakitan masa lalu yang kerap mengunjungi diujung mimpi. Suasana remang yang pertama kali terlihat ketika Ana mencoba membuka mata. Hujan deras diluar sana terdengar masih setia membasuh gulita.
Ana meringkuk diujung sofa, mencoba menata hati dari kesakitan yang berasal dari mimpi. Ia meraba pipi, lalu mengusir butiran bening yang ada disana. Tangisan dalam mimpi membawa tetes air mata yang nyata. Bukankah memang selalu begitu, selalu air mata yang mengakhiri mimpinya. Tetapi mengapa mimpi masa lalu itu kembali menyapa? Padahal sudah lama sekali dia tidak menyumbangi.
Ana kembali menghapus air mata yang kali ini terasa sulit untuk direda. Bayangan gurat wajah mereka didalam mimpi menjadi penyebabnya. Ayah dan lbunya...
Apa mereka melihatnya sekarang, sehingga akhirnya memutuskan untuk menyapa didalam mimpi. Atau mungkin mereka sedang menangis juga menyaksikan bagaimana derita yang ia terima setelah kepergian mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Romance" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...