28

5.2K 346 1
                                    

Jika kamu ingin bahagia, cukup katakan kepada Tuhanmu, bisikkan pintamu diujung do'a. Maka Tuhan akan tersenyum sembari mengulurkan tangan, menyambut segala asamu.

Rasanya Ana ingin tertawa, ketika kalimat yang sering diucapkan oleh bundanya kini menghampiri dengan tiba-tiba.

Mungkin saat itu bundanya hanya sedang menghiburnya. Karena nyatanya ratusan kalipun ia bisikan asa disudut do'a, bahagia itu belum juga menghampirinya. Bahagia itu seakan tiada dalam daftar hidupnya. Alih-alih menemukan secerca tawa,  Tuhan justru membiarkannya tersesat dalam labirin luka, tidak tahu harus kemana, setiap kali mencoba berlari ia akan kembali ketempat yang sama dan akhirnya ia Mendekam sendiri  disana.

Padahal ia selalu berbisik dengan baik, mengisyaratkan jika ia tidak suka sepi. Tetapi tetap saja, selalu salam perpisahan yang ia jumpai.

Dulu ia masih meyakini jika suatu saat nanti Tuhan akan menjawab semua keinginan hati. Sebelum untuk kesekian kali ia kembali dikecewakan oleh takdir, ditertawakan oleh mimpi dan  tersakiti oleh khayalnya sendiri.

Hingga akhirnya, Kini ia selalu membujuk hati agar cukup hidup dalam ilusi dan berbahagia dibalik asa.

Ana menghela nafas untuk kesekian kali, mencoba mengakhiri segala penat di dalam hati. Menyesali takdir bukanlah waktu yang tepat untuk saat ini. Segalanya telah terjadi, berlari untuk mengakhiri juga rasanya sudah tiada arti. Ketika Tuhan tidak mungkin sebaik itu untuk sudi  melepaskannya dari ikatan takdir yang menggerogoti.

Ia menyusuri kamar dengan netranya, menjamah setiap sudut ruang pribadi lelaki itu dengan kegamangan. Sepi,
Ia sendiri. Lelaki itu tidak disini. Bahkan dia telah menghilang beberapa saat setelah acara sarapan yang kacau itu berlalu.

Senyuman kecil langsung terukir ketika pandangan berhenti di dinding  yang tidak jauh darinya. Foto besar yang melekat disana menjadi alasannya. Disana ada lelaki itu bersama orang tuanya. Mereka terlihat bahagia. Seperti gambaran keluarga sempurna yang sesungguhnya.

Keberadaan foto yang disana menjadi bukti jika lelaki itu tidak seburuk kenyataannya, dia begitu menyayangi Ayah dan lbunya. Tetapi  keberadaannyalah yang membuat lelaki itu menjadi seperti saat ini. Anak dan orang tua itu bersitegang karena hal tidak penting seperti dirinya.

Mereka terpaksa saling mengecewakan hanya karena rasa konyol yang ia punya. Rasa sesak di dada semakin mendera ketika menyadari jika  keluarga ini juga pecah karena dirinya. Anak dan orang tua itu memisahkan diri karena keberadaannya. Karena Ana yakin, Raga tidak akan memilih tinggal di Apartement jika ia tidak disini.
Sudah jelas, jika ialah yang bertanggung jawab dengan kekacauan yang terjadi di keluarga ini.

Jika saja ia bisa akrab dengan  penguasa waktu, ia akan membujuknya untuk menarik ulang kisah yang ada. Andai saja ia berteman baik dengan penguasa hati, ia akan merayunya untuk berhenti menitipkan rasa tak bertuan yang ia punya.

Kapan??
Kapan kehadirannya tidak membawa kekacauan? Kapan keberadaannya menghadirkan kebahagiaan?

Seperti orang-orang diluar sana, ia juga ingin keberadaannya membawa tawa untuk orang yang ada disekelilingnya. Terutama untuk dia yang ia cinta.

Ana melepas pandangan dari figura ketika pintu kamar terbuka. Ia menoleh. Perempuan baik itu ada disana, sedang menabur senyuman tulus untuk dirinya. Ah, ternyata Tuhan masih baik kepadanya. Karena dibalik kekacauan yang ada, Tuhan menyelipkan wanita baik ini didalamnya.

Ana ikut tersenyum, sembari berusaha menenangkan gejolak sesak didalam sana. Ia tidak mau perempuan yang sudah duduk disampingnya ini melihat kegamangannya.

“Kamu  beres-beres? Kamu udah mau pergi? Aku pikir kamu berangkat sore nanti” kata Sinta dengan raut wajah tidak suka melihat tas dihadapan Ana.

Ana mengangguk lalu memasukan baju yang ia kenakan semalam kedalam tas kecil dihadapannya. Ah, acara berberesnya harus menjadi tertunda karena mengkhayal dengan pemikiran yang tidak jelas.

Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang