Kursi belakang dekat jendela selalu menjadi targetnya, dan merebahkan kepala ke jendela seraya menutup mata adalah favoritnya.
Hembusan angin sore langsung menyapa wajah teduhnya ketika ia membuka jendela bus kota. Ana tersenyum kecil,.Ah… ini menyenanggkan. Rasanya ia selalu suka perjalanan menuju kampus. Perjalan setengah jam menuju kampus selalu tidak pernah terasa lama. Dia suka disini, dia tetap merasa nyaman walau kursi disampingnya lebih sering kosong.
Ia selalu sendiri di kursi belakang karena penumpang lain lebih memilih kursi yang lain. Lagi dan lagi keberadaannya lah yang menjadi penyebabnya, mereka enggan berada di dekat manusia seperti dirinya.Bus berhenti di pemberhentian kedua. Banyak penumpang yang memasuki bus, dan pada akhirnya kursi disamping Ana terisi, mungkin karena sudah tidak ada kursi lain yang tersisa. Karena khawatir menciptakan ketidaknyamanan untuk penumpang disampingnya, akhirnya Ana mengakhiri kegiatan menyenangkannya. Ia menutup jendela bus.
Seketika bayangan dirinya tercetak jelas di kaca jendela. Ana tersenyum kecil sembari meraba pipi sebelah kirinya. Meraba alasan utama mengapa dunia meninggalkannya. Alasan pasti mengapa hanya pandangan menghina yang selalu ia terima.
Bekas luka bakar yang hampir diseluruh wajah sebelah kirinya itu masih tergambar dengan jelas. Padahal sudah 13 tahun kejadian menyesakan itu berlalu. Seperti kaset lama, rekaman kejadian itu kembali terlintas dengan jelas, mengalir begitu saja untuk menemani perjalanan menuju kampus. Aneh, semua sudah berlalu begitu lama. Tersungkur abadi dilembar awal cerita, tetapi mengapa sakitnya masih tersisa. Tidak pernah berkurang walau sedikit saja. Rasa sesaknya masih tetap ada. Cerita lalu yang menghantarkan luka abadi, karena belum ada penyembuh yang Ana temukan.
Ana masih mengingat dengan jelas bagaimana cerita ketika bekas luka ini pertama kali tercipta. Bagaiman sulitnya ia menghadapi dunia ketika segalanya seperti sedang menghukumnya.
Pandangan jijik dan menghina sudah menjadi teman biasa yang masih menjadi abadi hingga saat ini. Semenjak hari itu ia haus akan pelukan karena hanya pengusiran yang kerap menemani.
Ana tersenyum mengingat kejadian itu. Ia menyukai wajahnya, ia mensyukuri pahatan bekas luka ini karena hanya bekas luka ini yang mampu menceritakan jika dahulu mereka benar-benar ada bersamanya. Hanya bekas luka ini yang mampu membuktikan jika dahulu bahagia itu sempat menyapa sebelum akhirnya pamit dan tidak berniat untuk berbalik.
“ BRAKKK….” Suara gebrakan kursi yang keras menarik Ana dari kisah silam. Ia melempar pandangan kearah sumber suara.
Dan didepan sana, 3 kursi dari tempat duduknya, seorang lelaki berpostur tinggi dengan kemeja kusut, celana jins yang robek diberbagai tempat serta rambut acak-acakan dan dilengkapi dengan dengan gitar yang dijinjing dibahu kanan terlihat sedang melotot sangat kepada seorang bocah dengan seragam SD didepannya.
Tidak perlu menggunakan otak yang cerdas untuk menebak jika lelaki tersebut adalah preman.
“ Bangun, itu tempat gua” Tentu saja itu perintah yang tak terbantahkan. Bocah SD itu terdiam dengan tubuh yang bergetar, tentu saja ia ketakutan. Sedangkan penumpang yang lain hanya bisa terdiam, enggan melibatkan diri.
“ BUDEG LO, PINDAH SEKARANG SEBEUM GUE PINDAHIN LO KELUAR LEWAT JENDELA” Bentakan itu dia berikan beserta tendangan keras di kaki kursi.
Bocah SD itu masih terdiam dengan mata yang berkaca kaca, siap menangis sebelum akhirnya ana bersuara.
“ Mas…”
Semua mata kini tertuju kearah Ana termasuk kedua netra preman itu. Dan preman itu terlihat mengerutkan dahi sebentar sebelum akhirnya menatapnya tanpa berkedip. Ada apa dengan dia? Apa dia seterkejut itu melihat kondisi wajahnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Roman d'amour" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...