Gelap. Hanya ada pekat yang menyapa netra ketika ia membuka mata. Selalu saja begini, karena gambaran cahaya yang dilukiskan oleh bahagia belum juga menghampiri. Tawa yang kerap ia damba ketika membuka mata, belum pernah berhasil menyingkirkan gundah yang ada.
Raga berusaha bangun dari tidurnya sembari berusaha mengusir rasa pusing dikepala. Ia lelah. Masalah yang ada terus menerus menyapa tanpa ada jeda.
Ketika orang lain telah bahagia dengan hidupnya, ia masih disana. Terkurung dan tidak tahu bagaimana cara untuk lepas dari peliknya takdir hidup yang ada.
Raga mengedarkan pandangan, mencari apapun yang bisa ia jadikan sebagai alasan untuk lebih tenang. Tetapi alih-alih mendapatkan apa yang ia harapkan, kini ia justru kembali terpaku. Tidak dapat berkata apapun ketika menemukan apa yang ada didepan mata.
Tumpukan pakaian yang ia kenakan semalam berhasil menjadi bumerang yang kembali berbalik untuk menyerang, Menyakiti setiap sisi hati yang telah lama teriris dengan kebimbangan yang tak nyata.
Raga mengacak rambutnya dengan kuat, berusaha melampiaskan keresahan yang terasa menyiksa.
Astaga... Apa yang sudah ia lakukan?
Ia kembali mengedarkan pandangan dengan perasaan gelisah, mencari sosok perempuan yang semalam ia buat menangis terlalu banyak sembari berteriak memohon untuk dilepaskan. Sosok perempuan yang ia peluk dengan erat, menenggelamkan tangisnya dalam dekapan. Berusaha menenangkan walau hanya kesakitan yang berhasil ia salurkan.
Kosong... Ruangan ini kosong, hanya ia disini. Ana sudah tidak terlihat. Setiap sudut yang mampu ditangkap oleh netranya selalu berakhir mentertawakan. Mengejeknha dan rasa kusut yang sedang merangkai kejam didalam sana.
Kemana dia? Kenapa dia tidak disini bersamanya?
Raga menggeleng dengan cepat ketika pikirannya berhasil menakutinya. Rasa khawatir tiba-tiba memenjarakannya.
Raga meraih celananya, mengenakannya dengan cepat lalu berlari keluar dari dalam kamar untuk mencari Ana, satu-satunya orang yang berhasil menunjukan bentuk kenyamanan itu seperti apa. Wanita yang selalu berhasil menggambarkan bentuk sepi dan sunyi ketika keberadaannya tidak teraba oleh netranya.
Raga menelan Saliva dengan susah ketika menyadari bahwa Ana tidak berada dimanapun. Setiap ruangan di Apartementnya hanya menyisakan sepi tanpa penghuni. Akhirnya dengan cepat, Raga berlari menuju kamar ania, berharap perempuan itu ada disana. Mungkin dia Sedang menyembunyikan luka yang dia terima seperti biasanya. Atau Melepaskan air mata tanpa harus dilihat oleh dunia dan seisinya.
Tetapi ternyata semua salah. Perasaan yang terus menyiksa hati kini berubah menjadi sakit yang luar biasa, ketika menyadari keberadaan Ana tidak mampu ia temukan disana.
Kamarnya kosong tanpa ada kehidupan didalamnya. Seseorang yang diharapkan oleh Raga tidak ada menunjukan diri disana.
Tidak... Raga tidak menginginkan ini semua. Ia menggeleng kuat ketika ketakutan yang luar biasa berhasil menghampirinya, menampar setiap sudut kegelisahan didada.
Raga mengedarkan pandangan berusaha mengusir perasaan menyakitkan didalam sana. dan akhirnya tas yang terongsok disamping lemari berhasil ditangkap oleh matanya.
Ia mendekati lalu duduk disana, Raga merasa lega ketika menemukan pakaian Ana masih berada disana. Dia membiarkan pakaiannya berada didalam tas tanpa memasukkannya kedalam lemari besar dikamarnya.
Raga hanya mampu terdiam menikmati rasa sakit yang kesekian kali ketika menyadari betapa Ana berusaha membatasi diri, selalu memikirkan kenyamanannya dan tidak pernah melewati batas peraturan yang telah ia tetapkan dari awal. Selama ini, Ana tidak pernah berusaha masuk kedalam kehidupannya, tetap berdiri sendiri di luar garis yang sudah ia batasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera di Batas Senja (TELAH TERBIT di LOVRINZ)
Romansa" Waktumu 5 bulan, selama itu silahkan nikmati hidupmu sebelum kamu merangkak pergi dari hidupku" Ana terdiam, kembali menunduk. Ia sudah menyangka jika ini pasti terjadi. Lelaki itu tidak mungkin bisa menerimanya begitu saja. Tetapi mengapa sayata...