**
"Mama ngelakuin ini semua demi kamu Wulan. Supaya kamu gak pergi dari hidup Mama."
"Dengan nyewa orang buat mata-matain aku di kampus?"
"Bukan gitu maksud Mama Wulan."
"Aku bingung kenapa Mama ngelakuin semua ini. Kayak gak ada kerjaan lain aja tau gak!"
"Wulan!"
"Udah sejak kapan Mama nyewa Alwi buat jadi mata-mata? Eh Bang Alwi maksudnya."
Oke. Jadi begini.
Semalan setelah mendengar obrolan antara Tante Laras dengan Alwi di tempat les Let's Say Hi! Aku mendapat bukti kalau Alwi memang disuruh untuk mengawasi ku yang lebih mirip memata-matai aku di kampus.
Alwi sebenarnya bukan mahasiswa di kampus ku. Dia adalah mahasiswa semester akhir yang sedang sibuk penelitian, kampusnya sendiri berada di luar kota. Dia ke kota ini karna ingin rehat dari penelitiannya yang memusingkan. Dan dia adalah adik kandung Tante Laras.
Menurut cerita Tante Laras. Mamaku meminta Tante Laras untuk mencarikan seseorang yang bisa mengawasiku di kampus. Dan Alwi yang sedang rehat menjadi orang pilihan Tante Laras.
Aku sempat bertanya apa alasan Mama meminta Tante Laras mencarikan orang untuk mengawasiku di kampus, tapi jawaban Tante Laras malah begini, "Kamu tanya sendiri ke Mama kamu. Karna kalau Tante Laras yang ngomong, Tante gak berhak. Soalnya ini urusan keluarga kamu Wulan."
Begitu awalnya hingga aku mengajak Mama bertengkar di tengah malam. Sekarang ini.
"Kamu tau? Kamu tau darimana?"
"Mama gak perlu tau aku tau itu dari mana! Mama harus jawab apa alasan Mama ngelakuin ini?"
"Mama udah jawab Wulan. Ini semua demi kamu."
Aku mendengus tak habis pikir. "Demi aku gimana Ma? Aku udah gede. Aku udah 19 tahun. Bukan bocah SMA yang selalu nangis tiap ambil rapor selalu sendirian di saat temen-temen aku bareng Mamanya. Mama gak pernah ada buat aku semenjak Papa pergi. Tapi, sekarang Mama tiba-tiba peduli. Bahkan pakai nyewa-nyewa orang segala buat ngawasin aku."
"Wulan kamu gak ngerti."
"Makanya jelasin dong Ma. Kenapa? Apa alasan Mama?"
Mama memegang kepalanya sembari mendesah panjang. Mama lalu menarik kursi makan dan duduk. Setelan kantor yang masih melekat serta raut wajah lelah Mama hampir membuatku luluh. Tapi, jangan sekarang. Aku perlu penjelasan atas perlakuan Mama terhadapku.
"Papa kamu datang nemuin Mama. Tiga bulan lalu. Di restoran biasa tempat Mama makan siang."
"Ha? Ngapain?"
Mama tersenyum kecut. "Dia bilang dia sudah ngawasin kamu. Dia juga berencana mau bawa kamu pergi dari Mama kalau dia liat kamu gak bahagia tinggal sama Mama."
Aku refleks meneguk saliva yang tiba-tiba saja menggumpal di tenggorokanku.
"Mulai saat itu Mama sadar. Mama sudah pergi terlalu jauh dengan kesibukan Mama cari uang buat kamu. Mama mau kamu hidup bahagia, gak ada kekurangan baik itu finansial dan pendidikan. Cuma itu yang Mama pikirin tiap Mama capek sama kerjaan Mama."
Aku bungkam.
"Dan Mama sadar kamu sering menyendiri di rumah. Tiap Mama pulang kita juga jarang ngobrol. Mama juga udah gak pernah bikin sarapan lagi buat kamu. Mama menyesal Wulan sudah seperti itu. Tapi dengan kesibukan pekerjaan Mama, Mama gak bisa berbuat apa-apa. Sampai Mama dapat ide buat cari seseorang yang selalu ada di sekitar kamu, berteman sama kamu, jagain kamu dan juga mengawasi Papa kamu yang bisa tiba-tiba muncul buat bawa kamu pergi dari Mama."
Telak. Aku dibuat tak bisa berkata apa-apa.
"Mama gak mau kamu pergi Wulan. Mama cuma punya kamu. Kamu anak Mama satu-satunya." Mama pun terisak. "Maafin Mama."
**
Esok paginya aku demam. Mama mengambil cuti satu hari untuk merawatku. Kata Mama ia rindu seharian di rumah dan mengajakku mengobrol banyak hal.
Menjelang sore demamku sudah turun. Aku dan Mama duduk-duduk berdua di sofa keluarga sembari menonton televisi. Tapi, bukannya serius menonton. Aku dan Mama malah asik mengobrol.
Jujur saja aku kembali merasakan kehangatan itu. Kehangatan keluarga yang sebenarnya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menceritakan dengan jujur kehidupan kampusku.
Aku banyak mengeluh pada Mama mengenai dosen-dosenku yang seenaknya saja mengcancel jadwal kuliah dan menggantinya di hari lain. Juga dengan tugas-tugas yang menumpuk. Bagaimana stresnya aku ketika minggu-minggu ujian tiba. Hingga kisah asmara teman-temanku pun aku ceritakan. Siapa lagi kalau bukan Sasa dan Kristi.
"Kalau kamu suka suka sama siapa?" tanya Mama tiba-tiba.
"Hah? Kok aku Ma?"
"Kan kamu udah cerita Kristi sama Fikri yang cuma phpin dia. Terus si Sasa sama Dito yang bentar lagi mau jadian. Terus kamu gimana?"
Aku dibuat gugup tiba-tiba.
"Anak Mama suka sama siapa? Cerita dong. Mama pengen tau."
"Emm itu..."
"Ya?"
"Aku suka sama..."
"Sama siapa?"
"Sama..."
Ponselku tiba-tiba berdering. Aku terselamatkan. Untuk siapa saja yang menelponku, aku sungguh berterimakasih.
Aku yang tadi duduk di sofa ruang keluarga bersama Mama langsung beranjak ke buffet televisi dimana ponselku sedang di charger.
Panggilan masuk itu ternyata dari Fakhri. Aku melirik Mama terlebih dahulu sebelum menggeser tombol hijau. Mama sudah pindah ke dapur. Itu artinya aku aman.
"Halo Fakhri." sapaku.
"Oh jadi namanya Fakhri!" Tiba-tiba Mama berseru.
"Mama!"
Gara-gara itu aku langsung mematikan panggilan sepihak. Semoga saja Fakhri tidak mendengar suara Mamaku.
**
Date : Rabu, 22 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
[HS] Gerimis Siang Itu (✔)
Romance[Completed] [HS] = [Hujan Series] Urutan membaca : 1. [HS] Pagi Itu Hujan 2. [HS] Kembali Temu di Bawah Hujan 3. [HS] Gerimis Siang Itu ** Tempias gerimis mengenai kaca besar perpustakaan. Aku melihat tetesannya yang turun perlahan seperti anak...