**
Di kampus suasananya sedikit berubah. Bagiku sih. Karena sudah tidak ada Alwi di sekitarku lagi.
Alwi sudah kembali ke luar kota. Ia harus menyelesaikan penelitiannya agar segera diwisuda. Alwi juga sudah bicara langsung padaku dan meminta maaf karna telah berpura-pura menjadi temanku di kampus. Tante Laras juga minta maaf tapi tempat les Let's Say Hi! itu tetap buka. Karena tempat les itu memang sudah lama direncanakan oleh Tante Laras. Aku saja yang terlalu berlebihan curiga dengan tempat les itu. Meskipun begitu gara-gara tempat les itu aku bisa tahu kebenarannya.
Hari ini aku disibukkan dengan kegiatan organisasi. Aku sebagai anggota humas sibuk menemani dan bicara dengan orang-orang yang kami undang untuk datang ke acara seminar yang dihadiri guest star yang dikenal penerima beasiswa di luar negeri.
Ada kesalahan sedikit di sini. Kak Fira tidak bisa ikut menjemput guest star itu karena alasan konyol yang sungguh membuat aku kesal.
Tapi, aku bisa apa? Aku hanyalah anggota baru dan tidak punya hak untuk bicara. Terlebih lagi yang membuat perkara adalah ketua DPO kami. Sudahlah aku tidak ingin membahasnya.
Anggota humas jadi terpecah. Aku tidak bisa menemani Kak Fira yang sedang sedih karna sungguh aku juga kesal bukan main. Aku pun memilih pergi dari gedung convention center, tempat seminar diadakan.
Tujuanku adalah rooftop kampus. Bukan rooftop perpus ya. Rooftop ini adalah rooftop fakultasku. Di sini sepi. Aku bisa melakukan apapun disini. Waktu itu saja aku tertidur di sini.
Aku melangkah ke meja panjang yang selalu ada di sudut rooftop. Itu tempat favoritku.
Tapi, kali ini ada seseorang di sana. Seorang cowok sedang memetik gitar. Bak seorang seniman yang sedang memikirkan lirik lagu, cowok itu memandang langit sembari memetik asal senar gitarnya.
Aku mendekat. Dan terkejut melihat Revano yang ada di sana.
"Loh Revano?"
"Wulan?"
Revano tak kalah terkejut. Aku tergelak melihat ekspresi kagetnya.
Sedetik kemudian Revano ikut tertawa. Ia lalu menepuk sisi meja di sebelahnya. Menyuruh aku duduk di sana.
Aku pun menurut.
"Ngapain lo di sini?"
"Nyantai." Ia kembali memetik senar gitarnya.
"Nyanyi dong."
"Suara gue gak sebagus itu Wulan."
"Tapi, gue pengen denger lo nyanyi."
Oke. Agaknya aku terdengar memaksa. Tapi, sungguh dengan atmosfer rooftop yang sepi. Semilir angin sejuk yang datang. Dan sosok Revano dengan gitar di tangan. Akan sangat sayang jika cowok itu tidak menyanyikan sebuah lagu.
"Gak."
Tapi, sepertinya Revano tidak mau. Baiklah. Aku tak akan memaksa lagi.
Aku mendongak menatap langit. Birunya langit terlihat di antara awan-awan yang berarak perlahan. Sembari menghela napas aku merasa lebih baik sekarang. Sudah tidak sekesal tadi.
"Btw, udah lama banget gue pengen ngomong ini sama lo Lan. Lo apa kabar?"
Aku menoleh. Langsung disuguhkan tatapan mata Revano. Aku mengernyitkan kening tak mengerti. Kenapa ia menanyakan hal itu seolah ia baru bertemu dengan ku setelah sekian lama saja. Padahal hampir tiap hari kita bertemu di kelas.
Tiba-tiba Revano tergelak. "Kayaknya lo lupa sama gue."
"Hah? Maksud lo?"
"Gue Vano. Bocah gendut yang selalu lo panggil Bang Vano. Padahal kita seumuran kebetulan aja gue sekolah duluan daripada lo."
"Hah?"
"Bisa gak lo jawab selain Hah?"
Aku syok. Apa maksud Revano tadi. Dia bocah gempal Kakak kelasku yang jenius dan banyak akal yang bisa membuat berbagai macam alat luar biasa itu? Benar? Kok bisa? Kenapa aku tidak sadar kalau selama ini dia ada di dekatku. Sekelas dengan ku pula.
"Bentar, lo Bang Vano?"
Revano mengangguk.
"Kok bisa?"
"Oh, lo gak percaya."
Ia lalu mengambil ponselnya. Mengutak atiknya sebentar lalu menunjukkan sebuah foto yang menjadi bukti kalau dia memang Bang Vano. Foto itu adalah foto dia sewaktu menang lomba alat percobaan ilmiah dimana ada aku di sebelahnya. Aku yang memegang piala yang ia terima sembari tersenyum lebar.
"WAH!" Aku benar-benar syok. Sampai melompat dari meja dan menutup mulut tak percaya.
Revano tergelak. "Biasa aja kali. Lo lebay banget."
"Kenapa lo baru kasih tau gue sekarang?"
"Sorry. Gue juga baru sadar sebulanan ini kalau lo itu bocah pendek yang selalu ngikutin gue kemana-mana dulu."
Aku mendegus karna diejek bocah pendek. Tapi bagian mengikutinya kemana-mana itu adalah fakta.
Aku menoleh menatapnya. Ia juga balas menatapku. Kami sama-sama tersenyum. Aku bersyukur akhirnya aku bertemu lagi dengan teman lama ku. Dan aku sudah tidak sabar dengan alat-alat luar biasa seperti apa yang bisa ia buat sekarang. Mengingat ia bukan bocah gempal sekolah menengah pertama lagi.
"Tapi sekarang rasanya aneh kalau gue manggil lo pake Bang. Kristi pasti bakal kepo dan gue males jelasinnya."
Revano tertawa. "Kita kayak biasa aja. Yang penting kita sama-sama tau kalau kita udah kenal dan dekat dari dulu."
Aku mengangguk. Setuju.
**
Date : Kamis, 24 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
[HS] Gerimis Siang Itu (✔)
Romance[Completed] [HS] = [Hujan Series] Urutan membaca : 1. [HS] Pagi Itu Hujan 2. [HS] Kembali Temu di Bawah Hujan 3. [HS] Gerimis Siang Itu ** Tempias gerimis mengenai kaca besar perpustakaan. Aku melihat tetesannya yang turun perlahan seperti anak...