2. Tentang Ekspektasi Yang Selalu Menyakitkan

80 25 8
                                    

Setelah mengantar Kristi ke kosannya dan memastikan gadis itu tak lagi menangis karna Kak Fikri lagi, aku memutuskan pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah mengantar Kristi ke kosannya dan memastikan gadis itu tak lagi menangis karna Kak Fikri lagi, aku memutuskan pergi. Aku tak ingin langsung pulang ke rumah, meskipun sudah pukul delapan malam. Enggan sekali, karna di rumah pasti Mama belum pulang dari kantor. Rumah pasti lengang.

Aku memutuskan pergi ke toko buku, rencananya memang sejak pulang kampus sore tadi, aku hendak ke toko buku. Namun, Kristi minta ditemani dulu jadi malam ini saja aku pergi ke toko buku. Toh, toko buku juga belum tutup.

Di toko buku aku tersenyum senang, karna jam segini pelanggan toko buku tak banyak. Aku melangkah santai menuju rak-rak komik serial detektif yang selalu aku suka sejak kecil. Setelah mendapati vol yang baru terbit, aku menjerit tertahan. Rasanya senang sekali karna yang aku tunggu-tunggu akhirnya aku dapatkan.

Namun, saat aku berbalik aku malah menabrak seseorang. Ceroboh sekali. Aku terduduk begitu saja di lantai. Aku langsung mengambil buku komik yang hendak ku beli tadi dan buku komik orang itu, yang merupakan komik serial horror yang aku tahu.

Aku berdiri dan menyerahkan buku komik orang itu seraya meminta maaf, "Maaf maaf."

Saat aku mendongak, aku malah tersekat. Orang itu juga kaget dan kami saling menatap satu sama lain seraya mengingat-ingat.

"Lo yang di perpus tadi kan?" Lalu orang itu yang pertama bertanya.

Aku mengangguk kaku. Lalu ia tersenyum. Rasanya aku ingin duduk saja di lantai karna kaki ku melemah. Senyumannya manis sekali.

"Kenalin gue Fakhri, lo?"

**

Alunan lagu mellow yang mengalun lembut membuat aku perlahan rileks. Detak jantung yang tadinya sudah seperti hendak lepas dari tempatnya saking kencangnya berdetak, kini sudah perlahan normal. Dengan segelas es latte aku duduk di hadapannya. Dari jarak sedekat ini, dia benar-benar tampan. Jujur saja, ya.

Aku sudah menyebutkan namaku tadi saat ia mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Akhirnya, aku bisa berkenalan dengannya juga. Dia mengajak bicara sebentar ke kafe di sebelah toko buku. Aku tentunya menurut. Kapan lagi bukan bisa bicara berdua dengannya dan saling berhadapan seperti ini?

"Lo suka baca komik juga ya?"

"Eh, iya. Lo juga?"

Astaga, kenapa jadi sekaku ini. Kemana kemampuan bicara panjang lebar yang ku miliki? Astaga!

Ia menyesap kopinya perlahan. Lalu berujar lagi, "Iya. Gue paling suka yang ini." Seraya menunjuk buku komik yang tadi dibelinya.

"Selain lo suka cerita detektif itu, lo ternyata juga suka baca romance ya?"

"Romance?" Aku terdiam. Bagaimana ia bisa mengatakan itu? Aku bahkan tidak pernah sama sekali membaca cerita romance.

"Iya. Novel yang lo baca di perpus. Judulnya kan Kisah Kita, itu novel lagi booming banget, lo aja bacanya seserius itu sampai gak sadar batas bukunya jatoh."

Oh, jadi buku yang aku ambil sembarang itu novel romance ternyata. Dan ia menganggap aku membacanya karna suka, padahal buku itu untuk menutupi diriku yang jelas-jelas memerhatikannya. Aku bahkan baru tau kalau itu novel, dengan genre romance pula.

Selama sembilan belas tahun aku hidup, aku sama sekali tak pernah merasakan cerita-cerita romance di dalam dunia nyata. Sedikit saja. Setidaknya dalam hidup keluarga. Ah, rasanya aku kelu sekali menyebut kata keluarga.

Aku bukan penikmat cerita romance. Bukan juga membecinya. Hanya saja aku tidak menyukai hal-hal yang nantinya malah membawaku untuk berekspektasi terlalu tinggi dengan kenyataan yang kosong. Hanya akan membodohi diri sendiri saja. Pembodohan diri sendiri. Aku tidak ingin seperti itu lagi. Cukup rasa sepi ini saja yang mengikutiku selama aku hidup. Jangan sampai rasa sakit ditinggalkan karna mengharapkan dikasihi itu datang lagi. Jangan. Jangan sampai.

"Ceritanya seru kan, meskipun udah kepisah jauh tapi mereka ketemu lagi." Ia kembali bicara.

Ah, sialan. Kenapa dengan tampang arogan itu dua retinanya tampak berbinar hanya dengan menceritakan cerita romance yang tampak sekali ia sukai. Apa ia juga berekspektasi?

Ah, sayang sekali. Dari seratus orang yang berekspektasi hanya sebagian kecil persentase yang mencapai ekspektasinya, sesuai dengan hidup nyatanya. Keberuntungannya.

Aku juga jadi mengasihinya. Berekspektasi yang malah tak sesuai dengan kenyataan. Itu tentu saja sakit. Tapi, sekali lagi. Sial benar aku malam ini. Ketika ia kembali berujar, dan tersenyum setelahnya. Agaknya aku mulai berekspektasi.

**

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[HS] Gerimis Siang Itu (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang