29. Patah Hati

34 13 6
                                    

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

"Bagus ini atau ini Lan?" Fakhri memperlihatkan dua gantungan kunci dengan karakter hewan di telapak tangannya.

"Buat siapa?" Bukannya langsung menjawab, aku balik bertanya. Sebab dua gantungan kunci itu terlalu girly untuk Fakhri pakai. Aku rasa Fakhri ingin membelikan itu untuk sepupunya. Shinta.

"Ada deh," jawabnya sembari terkekeh.

Aku sanksi ia akan memberikannya pada Shinta. Kalau untuk Shinta tak mungkin ia menjawab seperti itu bukan.

Makanya aku berniat memancingnya. "Buat cewek lo ya?"

"Bukan. Dia udah punya cowok. Lo tau kok siapa dia."

"Kalau dia udah punya cowok kenapa lo mau ngasih ini ganci?"

*ganci = gantungan kunci

"Emang ada salahnya kalau gue ngasih ganci ke pacar orang?" Fakhri tertawa. "gue cuma mau ngasih ganci ke temen gue bukan ngerebut dia dari pacarnya."

Ah. Begitu. Aku jadi tak bisa berkata-kata. Benar juga kata Fakhri. Dia kan cuma ingin memberikan gantungan kunci.

"Kalau gitu gue pilih yang ini." Aku memilih yang warnanya cerah.

"Okey!"

Ia terlihat senang. Agaknya rencana untuk memberikan gantungan kunci itu yang membuatnya senang. Aku jadi penasaran siapa gadis itu yang kata Fakhri aku mengenalnya. Apa jangan-jangan...

"Sasa?" Aku tiba-tiba berujar begitu. Padahal aku menyebutnya dalam hati tapi malah terucap.

"Ha? Apa Lan?" tanya Fakhri.

Sudahlah kepalang tanggung.

"Buat Sasa kan?"

Fakhri nyengir. Terlihat malu-malu. "Iya. Hehe. Kira-kira dia bakal suka gak ya?"

"Suka. Pasti dia suka."

"Semoga Sasa suka. Kalau gitu gue ke kasir dulu ya Lan."

Fakhri kemudian berlalu dengan langkah ringan meninggalkanku dengan bunyi retakan di hati yang hanya bisa aku rasakan sendiri.

Jadi, selama ini aku menyukai seseorang yang menyukai temanku. Fakhri menyukai Sasa. Dan aku menyukai Fakhri.

Sialan sekali!

Sehabis dari toko itu. Kami tidak langsung pulang. Maunya sih aku kabur secepatnya dari sana. Tapi, lidahku kelu untuk bicara. Aku jadi gagu dan hanya diam saja sepanjang langkah kaki kami mengelilingi pusat perbelanjaan itu.

Untungnya Fakhri tak menyadari itu. Dia benar-benar tidak peka. Entah hal ini bisa aku syukuri atau tidak. Aku bingung mendefinisikan rasanya.

Sekali lagi.

Sialan sekali!

Tujuan selanjutnya adalah toko buku. Aku tak berminat menuju rak-rak komik seperti yang Fakhri lakukan.

Aku malah melipir ke rak-rak novel romansa. Dengan berbagai judul patah hati. Sama persis dengan yang aku rasakan sekarang.

Langkahku yang membawa aku ke sana.

Secara tidak langsung mempresentasikan apa yang sedang aku rasakan sekarang.

Bahasa tubuhku tak bisa aku tolak. Aku terlalu lelah untuk pura-pura merasa kalau aku baik-baik saja sekarang.

Di depan deretan novel dengan judul patah hati air mataku luruh begitu saja. Jatuh mengenai ke dua pipiku yang dingin sebab pendingin udara yang berada tepat di atas kepalaku pada  langit-langit toko buku.

Tiba-tiba ada yang bicara di sebelahku.

"Judulnya sesedih itu ya?"

Sudut mataku menangkap sosok laki-laki yang berdiri di sampingku. Ia sedikit menunduk untuk melihat wajahku.

Aku kira ia akan tertawa karna aku yang menangis tapi reaksinya santai saja. Sangat di luar ekspektasiku.

"Gue gak lagi bawa tisu Wulan. Bisa gak lo berenti nangis."

Dia tau namaku?

Aku sontak menoleh dan dibuat terkejut bukan main.

"Loh Vano!"

**

"Kalau kamu patah hati itu wajar Wulan. Wajar kalau kamu nangis. Wajar kalau kamu merasa sedih. Dan wajar kalau kamu merasa ini gak adil. Karna hati kamu sakit setelah tahu kenyataan yang sebenarnya bahwa orang yang kamu suka gak balik suka sama kamu."

Malamnya aku curhat pada Mama. Masih sambil menangis dan terisak. Jujur saja setelah Papa pergi aku pernah merasa kalau semua laki-laki tidak pantas untuk dicintai. Tapi, saat aku bertemu Fakhri secara tak sengaja di toko buku aku merasa ada yang salah. Aku jadi memikirkannya berhari-hari berikutnya hingga aku bertemu lagi dengannya di perpus kampus.

Dia cinta pertamaku. Dia cowok yang aku suka hingga aku bisa menghapus presensi yang aku buat sendiri kalau semua cowok tak pantas dicintai itu salah. Aku yang membuka hati dan membiarkan Fakhri menjadi pemiliknya. Namun nyatanya cowok itu punya orang lain yang disukai. Hatinya bukanlah untukku dan hatiku bukanlah untuknya.

"Udah nangisnya?" tanya Mama selepas isakanku berhenti. Air mataku juga berhenti.

Aku mengangguk pelan. Posisiku sedang berbaring di kasur sembari menatap langit-langit kamar Mama. Sementara Mama berbaring menyamping ke arahku. Tangan Mama terulur mengusap sisa basah di ke dua pipiku.

"Anak Mama udah besar ya. Udah bisa suka sama lawan jenis. Juga udah bisa patah hati. Tapi jangan pernah berhenti mencintai Wulan. Kali ini hati kamu bukan buat dia. Itu artinya takdir kamu bukan sama dia. Kalau dia bukan takdir kamu, itu artinya dia bukan jodoh kamu. Jadi, kamu harus semangat cari jodoh kamu. Ada yang bilang nih ya, jodoh itu gak akan kemana."

Aku tersenyum karna kalimat yang Mama ucap. Rasanya aneh sekali mendengar nasihat Mama. Sebab ini yang pertama kalinya. Tapi hatiku menghangat. Sungguh.

Aku ikut memiringkan badan menghadap Mama lalu aku beringsut dan memeluk Mama erat.

**

Date : Rabu, 2 Maret 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Date : Rabu, 2 Maret 2022

[HS] Gerimis Siang Itu (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang