Abi menatap nanar, kedua kaki nya yang membengkak kemudian beralih ke jari-jari kukunya yang membiru. Tubuhnya semakin kurus, tidurnya tak lagi se-nyenyak dulu pasti ada sesak yang terus menggerayangi.
Bahkan akhir-akhir ini, tidurnya harus selalu ada yang menemani. Bukan apa-apa, ia hanya takut sendirian saat sakit nya datang dan ingin membawa nya pulang.
Seperti pagi ini, setelah sarapan ia berbaring di tempat tidurnya di temani si sulung Arga. Sebab, sang ayah—reno sedang menghadiri rapat penting yang tidak bisa di wakilkan, sementara restu sedang menjalani kewajiban nya sebagai siswa tingkat akhir.
Dengan sabar dan penuh kasih, Arga mengelus rambut hitam Abi. Tadi setelah semua orang pamit untuk melakukan pekerjaan masing-masing, abi di antar Arga kembali ke kamar. Memang seminggu ini, kegiatan Abi lebih banyak di kamar hanya sesekali ia mau di ajak keluar untuk makan di ruang makan.
Bukan tidak bosan, namun untuk bangkit duduk saja kini Abi kepayahan.
Dengan posisi terlentang, ia memandang langit-langit kamar. Arga—disana masih setia mengusap dada sang adik yang tadi mengeluh sesak. Kosong dan redup, mungkin itu yang Arga lihat dari mata sang adik.
"Abang"
Dari sekian menit berlalu, suara Abi mengalun lirih."Mn, kenapa dek?" Tanya Arga, mata nya ia fokuskan untuk melihat sang adik yang akan melanjutkan kalimat nya.
Ada jeda disana, Abi meraih tangan Arga yang masih berada di dada nya pelan kemudian ia kembali bersuara, "usap-usap terus ya bang, sampe aku tidur. Setiap hari ini makin nakal, rasa nya aku capek—
—pengen bobo aja" ucapnya, yang membuat hati Arga menyesak. Maka saat itu, bukan hanya usapan sayang yang Arga berikan tapi juga dengan pelukan hangat untuk sang adik.
.
.
."Adek lagi apa?" Seketika kepala nya tertoleh, second selanjutnya ia tersenyum—di sana ada sang ayah yang masih dengan kemeja biru dan jas hitam tersampir di lengan nya.
"Ngga lagi ngapa-ngapain, yah. Emang apa yang bisa aku lakuin dengan kondisi aku yang sekarang ini" ujarnya, melirih di frasa terakhir. Dan di ambang pintu, air muka ayah berubah sendu, meremat tangan nya—merasa bersalah dan kemudian merutuki perkataan nya.
Namun—dengan segera ia langsung menampik raut mendung itu, lalu berucap, "hey, anak ayah jangan gitu ah. Haduh bentar deh, ayah pamit mandi dulu. nggak berani ayah deketin kamu pas berkuman gini. Abis ini kita lakuin hal-hal yang seru, oke?"
Tanpa menunggu jawaban sang anak, si ayah langsung ngibrit ke kamar nya. Membuat Abi terbengong kemudian menggeleng dan mencibir dalam hati, "dasar bapak kelebihan energi".
Menit kesekian, ayah datang dengan penampilan kasual nya. Merebahkan diri di samping sang anak, kemudian menarik si bungsu dalam dekapan nya.
"Gimana seharian ini dek?" Memang selalu begini, pertanyaan-pertanyaan kecil dan ringan yang selalu menemani kala sang ayah pulang kantor.
"Baik" jawabnya, sambil menyamankan diri dalam dekapan sang ayah.
Sebenarnya, Reno agak kecewa. Anaknya kini seperti menjadi pribadi lain—tidak seceria dulu dan secerewet dulu. Sekarang hanya ada hitungan kata yang terlontar dari bibir pucat si bungsu.
"Gak bosen emang? Gak pengen ayah panggilin dua curut itu kesini hmm?" Biasanya penawaran seperti ini yang Abi langsung iya—kan.
"Gausah" —namun kali ini berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
HASBINAKA
Novela Juvenil"Bun, Abi udah ketemu ayah" "Gak nyangka abi juga ternyata punya abang"