8. Celaka

1.3K 92 4
                                    

Kelopak mata kecil milik fenly perlahan mulai bergerak, mencari kenyamanan untuk membukanya.

Andin yang berdiri di sebelahnya terlihat berkaca-kaca dengan senyum sendunya.

"Fen, ada yang sakit?" Fenly tersenyum kecil, Andin tak pernah berubah untuk selalu ada di sampingnya meskipun kini sudah bersuami.

"Ha-us," ucapnya terbata saat merasa tenggorokannya kering dan sakit, dengan cekatan andin membantu adik lelakinya itu minum.

"Udah?" fenly mengangguk kecil, "mau makan sekarang?" lanjut tanya andin sesekali mengusap surai pirang fenly dengan lembut.

"Iya, sekarang aja mau tidur lagi." Andin terkekeh mendengar penuturan fenly, meski hatinya masih resah saat ingat bahwa fenly harus kembali ke tempat ini lagi.

"Sayang, eh fen udah bangun?" Ricky muncul dari balik toilet dan menyapa kedua keluarganya.

"Iya Mas, alhamdulillah fenly udah sadar."

"Abang udah suruh aji ke sini, biarin dia minta maaf sama kamu," tutur Ricky seraya mengusap rambut lepek adiknya, tersenyum lembut agar pemuda itu tenang dan merasa nyaman berada di sisinya.

"Harusnya gak papa Mas, jangan sampai buat aji ngerasa kamu pilih kasih," jawab Andin tanpa berhenti memberi suapan pada adik lelakinya itu.

"Iya, Bang. lagian bukan salah aji kok," lanjut fenly dengan suara seraknya, menatap ricky dengan tatapan memohon.

"Hemm ... kalo gitu nanti abang minta maaf, tapi kamu sembuh dulu ya!"

"Siap Abang!"

"Cakep bener adeknya kakak."

"Fen," panggil ricky seraya duduk di kursi samping brankar tempat fenly berbaring.

"Kenapa Bang?" tanya Fenly yang sudah mulai merasa segar.

"Mau ya jalanin pengobatan!"

"Iya fen kita gak mau sampai kamu kenapa-kenapa!"

Fenly menghela nafas kasar, kenapa kedua orang tua ini sangat-sangat keterlaluan, memangnya dia harus pengobatan apalagi? cuci darah! maaf dia tidak selemah itu.

"Emangnya harus pengobatan apalagi? fen gak mau kecuali operasi itupun kalau persenannya tinggi!" marah fenly yang langsung tak ingin menerima suapan yang andin sodorkan lagi, selain karena kesal ia juga mulai merasa mual dan tak ingin membuat makanan yang sudah masuk perutnya kembali keluar.

"Ya, mungkin cuci darah? atau apapun itu."

"Ya oke apapun keputusan dokter aku turutin!"

"Bagus, anak pinter kesayangan abang sama kakak!"

Ketiganya tersenyum ceria, andin bahagia karena mendapatkan suami se penyayang ricky begitupun fenly yang senang mendapat kakak yang sepengertian ricky.

Tanpa ketiganya sadari, sejak awal seseorang menatap mereka dengan tatapan sayu, jadi ini alasan mengapa fiki selalu senang saat sakit.

Kehadiran orang tua lengkap saat seorang anak sakit adalah kebahagiaan kecil yang tak bisa tergantikan, itu semua belum pernah fajri dapatkan.

Ya, dia fajri sejak awal ricky keluar dari toilet anak remaja bergigi kelinci itu sudah ada di ambang pintu, memperhatikan interaksi mereka tanpa ada satupun yang menyadari kehadirannya.

"Kapan ya, gue ngerasain kayak gitu? apa harus sakit dulu?" Nafasnya terhela pendek, wajahnya tak bersemangat sama sekali.

Ketika dirinya sakit hanya ada Papi bukan Mami, kalau papi kerja dirinya hanya di temanin bik marni bukan mami, kalau umi sama abi datang berkunjung, shandy yang ambil sendiri minuman dan cemilan untuk mereka bukan mami.

FAJRI || UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang