27. Sadar

1.2K 122 14
                                    

Ricky berlari sekuat yang ia bisa, tak perduli beberapa orang yang tak sengaja ia tabrak mengoceh marah, yang ia mau segera sampai untuk menemui putranya.

Ia baru saja mendapat kabar dari shandy yang datang ke ruang rawat fenly bahwa fajri mengalami masa kritis akibat kekurangan darah.

Tak ingin percaya begitu saja seandainya tidak teringat dengan pertengkaran mereka tempo lalu, suara fajri masih terngiang di telinganya saat dengan lantang menyerukan ingin mendonorkan ginjal untuk fenly.

Ia tak tahu jika anak itu bisa senekad ini, melakukan hal di luar dugaan yang dirinya kira hanya sebagai ancaman.

Memelankan laju langkahnya, ricky berhenti tepat di depan kakek dari anaknya, abi duduk di sana dengan umi yang beraandar rapuh di bahunya.

"Abi ... ba_bagaimana?" Bahkan rasanya ada sesuatu di tenggorokannya yang membuat ia kelu untuk berucap.

Abi menatap ayah dari cucunya itu dengan tajam, sayang ia tak bisa berdiri karena saat ini umi bersandar penuh padanya, mengeratkan rahangnya menahan emosi, abi tak mengucap sepatah katapun.

"Abi," lirih ricky, bersimpuh di hadapan abi dengan tangan yang menggenggam tangan kiri abi, paruh baya itu mengalihkan pandangan agar air mata yang sedari tadi di tahannya tak keluar.

"Ricky minta maaf! maaf karena_ hiks." Ricky tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, ia memilih menangis di pangkuan ayah mertuanya, menyembunyikan wajahnya di sana karena malu.

Ia malu pada orangtua ini, ia malu pada adiknya, ia malu pada diri sendiri dan ia menyesal karena tak ada saat anaknya berada dalam keadaan buruk.

"Sudahlah Rick, tak ada gunanya menangis seperti ini, temui anakmu dan segera lakukan sesuatu untuknya!"

Pada akhirnya abi tak pernah bisa untuk marah, ia bukan tak bisa marah tetapi semuanya akan lebih kacau jika ego mengalahkan segalanya.

"Hiks ... Ricky malu Bi, ricky maluu ...."

"Abi tahu, tapi ini bukan saatnya kalian untuk merasa malu bahkan bersalah sekalipun!"

Di ujung koridor shandy, andin dan rafi menatap interaksi kedua lelaki itu, keduanya ikut menahan air mata kecuali andin yang sudah bersimpah sedari awal mengetahui kabarnya.

Tak menunggu lama lagi, ricky beranjak dan memasuki ruang rawat fajri dan berjalan masuk, matanya tak teralihkan dari sosok putranya yang terbaring lemah dengan masker oksigen terpasang apik di sana.

Mendekat dan berakhir memeluk dengan tangis tak tertahankan, ia kira setelah puas menangis di luar tadi ia tak akan mengeluarkan air mata lagi, tapi nyatanya tanpa di perintah ia sudah mengalir lebih dulu.

"Maafin papi," gumamnya tepat di telinga fajri, mengecup lama keningnya dan mengusap lembut pipi yang pernah di tamparnya tempo lalu.

"Maafin papi gak bisa jagain aji, maafin papi udah marah-marah dan nyalahin aji."

"Kesayangannya papi itu kuat, bangun ya! kita perbaiki sama-sama." Tak ada jawaban, masih hening dan senyap, hanya suara mesin ekg yang pekikannya cukup membuat hati menjerit.

"Makasih kamu sudah bertanggung jawab, tapi kenapa harus senekad ini?" lirih ricky, bibirnya mengecup lembut tangan kanan fajri yang terbebas infus, menatap wajah pucat itu dengan mata berkabut, ia sungguh tak menyangka dan mengira akan berakhir seperti ini.

Salahnya juga harus berucap sekasar itu, sesalah apapun seorang anak tempatnya pulang tetaplah orangtuanya.

Ia pernah mengalami dan membenci karena kesalahannya di masa lalu, sepanjang hidupnya ia habiskan tanpa melihat kedua orangtuanya, mengapa ia melakukan ini juga pada putranya? apa ia tak menyadari betapa sakitnya di abaikan?

FAJRI || UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang