33. Belum usai

1.1K 109 12
                                    

Sekolah tak lagi se seru dan se santai biasanya, terlebih bagi fiki dan zweitson. Ketidak hadiran fajri diantara mereka membuat suasana sekolah yang seru berubah jadi sendu.

Pelajaran olahraga yang biasanya terasa menyenangkan, dengan memainkan bola basket atau sekedar bercengkrama dengan teman sekolah ketika break. Sekarang yang kedua remaja itu lakukan adalah duduk di sisi lapangan dengan wajah suram.

"Fik, kapan ya kita bisa bareng sama aji lagi?" pertanyaan yang hanya dapat terjawab dengan helaan nafas pasrah dari fiki, berdiri dan menepuk kasar bagian belakang celananya, membersihkan debu yang mungkin saja menempel di sana.

"Gue gak tau!"

Zweitson menengadah, menatap fiki dari bawah yang masih sangat terlihat jika si bungsu dari ketiganya itu memasang wajah kecewa.

"Lo mau ke mana?"

"Gak ada yang menarik di sini, mending ke kelas main game!"

Satu hal lagi, zweitson bukan hanya merasa kehilangan fajri tapi juga kehilangan sosok fiki yang ceria, lelaki bongsor itu seolah kehilangan sinarnya sejak sahabat mereka harus sakit-sakitan dan berujung bolos sekolah.

"Mau ke rumah sakit lagi?"

Hening tak ada jawaban, selain suara tapak sepatu mereka yang menggema di sepanjang koridor, fiki berjalan menuju kelas dengan tampang datar dan dingin, sangat kontras dengan kebiasaannya yang selalu menebar tawa dengan ledekan sebagai bahan candaan.

"Gue gak tega liat dia kaya gitu terus!"

"Lo bener Fik! padahal udah seminggu dia di rawat, di bawa ke psikiater juga. Belum ada perubahan apa-apa!"

Keduanya berbelok ke arah kanan di mana kelas mereka berada, kelas nampak sepi karena sedang pelajaran olahraga, mereka membolos karena sedang tidak ada guru.

"Malem ini katanya dia mau di bawa pindah!"

"Kemana?"

"RSJ!"

'BRAK'

"MEREKA GILA!" Fiki menggebrak meja sekuat tenaga, beberapa teman kelasnya yang memang berada di sana berhenti melakukan aktifitas dan menatap keduanya, terkejut.

"Mereka fikir aji gila, padahal mereka sendiri yang gila!"

"Bang shan juga menolak keras usulan itu, karena dia juga fikir aji cuma terguncnag psikisnya. Bukan berarti gila!"

"Gak! gak boleh sampai terjadi. Pulang sekolah kita ke sana, tungguin sampai mereka nyerah!"

***
Di ruangan itu hanya tinggal Shandy dan Ricky, keduanya masih bersitegang dengan argumen masing-masing hingga percakapab terhenti ketika tak menemukan jalan keluar.

Sementara Fajri yang sedang di tunggu, asik tertidur dengan nyaman, keduanya juga merasa tenang karena sejak seminggu yang lalu anak itu tak pernah tidur nyenyak.

"Pokoknya, Shandy gak mau sampai abang ngotot bawa aji ke sana! abang bisa liat kan bagaimana ciri orang gila? aji gak begitu!"

Ricky menghela nafas, kali ini dia memilih untuk mengalah karena lelah berdebat dan tak berharap juga untuk anaknya masuk ke tempat menyeramkan itu, terlebih melihat tidurnya siang ini nampak lelap dan nyaman.

"Shan!"

"Bang! abang harusnya nurutin apa mau fajri. Jangan keras kepala menentang ini itu!"

"Tapi dia mau pulang, Shan!"

"Yaudah, pulang ke rumah kan? siapa tahu kondisinya membaik pas di rumah!"

Shandy tak tahu ketakutan ricky saat ini, pria tampan yang kini memiliki dua anak itu merasa takut jika fajri bisa saja trauma melihat rumahnya sendiri. Terlebih banyak kejadian menyakitkan yang dirinya lakukan terhadap putranya itu.

FAJRI || UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang