"Bern ...!"
Kalani menutup telinga kiri dengan jari telunjuknya.
"Tunggu sampai Anda keluar stasiun dan melihat keindahan kota Bern."
Jingga menggeret koper dengan riang, membuatnya tampak seperti gadis muda yang hendak memulai kuliah di Bern. Tiba-tiba lengan longcoatnya ditarik oleh Kalani. Ia pun berhenti. "Ada apa?"
"Tunggu." Kalani membersihkan tenggorokannya. "Di sini ... ramai."
Ingin rasanya Jingga tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Kalani, tetapi ia tidak tega. Mereka akhirnya berjalan beriringan—Kalani berada cukup dekat dengan Jingga—menelusuri lorong stasiun bawah tanah.
Hembusan angin malam yang dingin mulai menerpa seiring naiknya tangga berjalan yang mereka pijaki. Bagaikan keluar dari gua, suasana kota Bern yang tidak terlalu ramai terpampang di hadapan mereka.
Tampak beberapa orang berlalu lalang. Ada yang berjalan kaki ataupun mengayuh sepeda. Trem dan bis terlihat mondar-mandir, sementara kendaraan pribadi atau taksi tidak tampak. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Warga Bern lebih memilih untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum bila bepergian.
"Kita menginap di mana?"
"Belum tau."
Jingga terperangah. "Bagaimana mungkin seorang Kalani van der Berg melakukan sesuatu tanpa perencanaan? Lucu sekali!"
"Ada ide?"
"Anda tanya saya? Serius?" Jingga mendengkus. "Suatu keajaiban Anda menanyakan pendapat orang lain. Seharusnya perkataan Anda tadi saya rekam."
"Untuk?"
"Untuk mengingatkan saya kalau Anda juga manusia, bukan robot."
Kalani menoleh pada Jingga, menatapnya seolah bertanya apa yang ia dengar tidak salah.
"Kita ke apartemen saya saja. Kuncinya ma—"
"Tidak."
"Katanya belum punya tempat untuk menginap," sahut Jingga. "Bagi saya lebih hemat kalau kita ke apartemen saya. Tidak terlalu jauh dari sini dan ki—"
"Cari hotel."
Jingga mencebik. "Di depan sana ada hotel. Bintang tiga, tapi cu—"
"Cari yang lain."
Jingga mengembuskan napas kasar. "Memangnya Oriona tidak punya hotel di sini?"
Kalani menutup rapat mulutnya.
"Buka di sini! Lokasinya bagus, banyak turis yang datang. Apalagi kalau sampai membangun di Interlaken atau Grindelwald," lanjut Jingga sambil menelusuri layar gawainya.
"Waalaikumussalam. Hotel. Bern."
Jingga menoleh.
"Oh, itu. Jamin higienis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Displacement [END]
Romance(SPIN OFF HIJRAHCCHIATO) Kembali ke negara asalnya tidak pernah ada dalam rencana Jingga. Setidaknya, sebelum ia bisa berdamai dengan keluarga besar sang ayah. Namun, permintaan seorang sahabat kala kuliah sulit untuk ditolak. Akan tetapi, keputusan...