(SPIN OFF HIJRAHCCHIATO)
Kembali ke negara asalnya tidak pernah ada dalam rencana Jingga. Setidaknya, sebelum ia bisa berdamai dengan keluarga besar sang ayah. Namun, permintaan seorang sahabat kala kuliah sulit untuk ditolak.
Akan tetapi, keputusan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jingga menyandarkan diri pada sebuah kursi kerja yang terbilang cukup nyaman di sebuah ruangan kecil. Napasnya sempat memburu, setelah bertemu dokter dengan perilaku tak biasa. Kegugupan itu membuat ia lupa bertanya pada Raiden Kamandaka mengenai jabatan Kalani di rumah sakit.
Ruangan kecil yang diisi Jingga bukanlah ruang praktek, melainkan ruang istirahatnya. Sementara dokter atau psikolog lain menggunakan ruangan tersebut untuk praktek di bagian rawat jalan rumah sakit.
Jingga tidak membuka praktek layaknya psikolog rumah sakit pada umumnya. Ia langsung mengkonseling pasien yang baru saja di operasi ataupun selesai menjalani terapi berkelanjutan di bagian rawat inap. Padahal, wanita itu bukan orang yang senang bertatap muka dengan orang lain. Baginya, menganalisa klien secara daring lebih nyaman ketimbang harus bertatap muka. Akan tetapi, profesinya menuntut untuk bisa beradaptasi di lingkungan manapun. Tanpa alasan.
Jingga mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dia jadi teringat flat kecil yang pernah ditinggali dirinya selama hampir 6 tahun. Ukuran ruangan ini tidak jauh berbeda dengan flatnya dulu. Kecil, tetapi bisa memberikan kenyamanan dan keamanan. Tempat yang tepat untuk lari dari segala macam permasalahan kehidupan. Sekonyong-konyong, ia pun merindukan kota kecil kelahiran Hans Albert Eintein itu.
"Ini." Raiden menyerahkan sebuah gawai berukuran 10 inci pada Jingga. "Di dalamnya sudah terdapat aplikasi yang akan memberitahukan Anda mengenai kondisi psikis pasien rawat inap di sini. Jadwal Anda juga sudah ada di sana beserta pengingat yang akan berbunyi lima menit sebelum waktu kunjungan pasien."
Jingga menatap lurus rekan kerjanya. "Haruskah ada pengingat? Aku bukan orang yang mudah melupakan sesuatu selama ini."
"Anda bekerjasama dengan dokter van de Berg. Beliau sangat ketat dengan jadwal. Tidak boleh telat ataupun ada kesalahan prosedur sedikitpun."
Jingga memutarkan kedua bola matanya. "Baiklah. By the way, bisakah Anda memanggilku 'Jingga' saja tanpa embel-embel 'dokter'? Aku psikolog, bukan dokter."
"Aturan dokter van de Berg semua seperti itu," jawabnya, "tapi saya bisa memanggil nama Anda tanpa sepengetahuan beliau. Ataupun di luar jam kerja." Melihat reaksi Jingga yang tertegun, seorang Raiden Kamandaka jadi salah tingkah. "Maksud saya, sebagai teman. Di luar lingkungan rumah sakit ini. Kita bisa lebih santai dalam berbicara."
"Baiklah. Thanks."
"Are you fine with that?"
Jingga mengangguk meskipun tersirat sedikit keraguan. Selama ini, ia tidak terlalu pandai dalam memulai suatu hubungan pertemanan. Butuh waktu dan cenderung berhati-hati. Meskipun pada akhirnya, ia memiliki dua orang sahabat baik.
"Satu lagi. Dokter van de Berg tidak menyukai sentuhan fisik. Jadi, jika ada pasien yang berusaha menjabat tangan beliau meskipun lelaki, tolong dicegah," lanjutnya, "bagaimanapun caranya."