(SPIN OFF HIJRAHCCHIATO)
Kembali ke negara asalnya tidak pernah ada dalam rencana Jingga. Setidaknya, sebelum ia bisa berdamai dengan keluarga besar sang ayah. Namun, permintaan seorang sahabat kala kuliah sulit untuk ditolak.
Akan tetapi, keputusan...
Kalani langsung tancap gas tanpa berkata apapun lagi. Menoleh pada Jingga pun tidak. Perilaku lawan bicaranya, membuat jantung Jingga berdebar.
"Kamu ... marah?"
Kalani mendengkus. "Untuk apa?"
"Menungguku."
Kalani terdiam cukup lama. "Sudah makan?"
"Kamu?"
"Kok balik nanya?"
"Tidak suka ditanya balik?"
Jingga kembali teringat perkataan dokter Park mengenai momentum untuk membantu menyembuhkan Kalani. "Aku sudah makan. Sedikit."
"Mau makan dulu?"
"Di rumah?"
"Kita tidak pernah makan," Kalani menjeda, "di rumah."
"Itu karena kulkas kosong hampir setiap hari. Mau makan apa di rumah?"
"Mau ... belanja dulu?"
"Enggak masalah," jawab Jingga. "Tapi, gak apa-apa kamu nunggu di mobil? Mungkin agak lama."
Kalani berdeham. "Aku ikut. Belanja."
Jingga melonggo. " An–kamu tidak sedang bercanda 'kan?"
Kalani menggeleng. "Tidak ada salahnya. Mencoba."
"Untuk membiasakan diri? Baguslah kalau kamu mau berubah," sahut Jingga seraya mencari supermarket terdekat melalui ponselnya. "Kalau nanti kita sudah hidup masing-masing, kamu akan mudah untuk beradaptasi layaknya orang lain.
"Dan tidak menutup kemungkinan juga kamu bisa mengejar seseorang di masa lalumu."
Kalani tersenyum sinis. "Tidak ada."
"Kita ke supermarket B saja. Lebih dekat," usul Jingga. "Bagaimana dengan Mentari Visser?"
"Mentari?"
Jingga mengangguk. "Kamu sudah lama suka padanya 'kan? Tempo hari, dokter Visser bercerita mengenai masa kuliahmu dulu."
"Dia tidak tau apa-apa."
"Dia tau kalau kamu naksir dia kok," sahut Jingga seraya menatap Kalani. "Katanya kamu pemalu hingga tidak berani mengutarakan perasaan. Akhirnya, kalian terpisah karena kamu melanjutkan sekolah di Jerman. Benar 'kan?"
Kalani terdiam. Bukan tidak ingin menjawab, tetapi fokus mencari supermarket yang dituju. Meski sudah menyalakan GPS, Kalani tetap mencari dengan mata kepalanya sendiri.
"Jangan dengarkan dia," ujar Kalani kemudian. "Dia tidak tau apa-apa. Tentangku."
Jingga mengerutkan dahinya. "Masa sih? Dia sangat yakin kalau—"