(SPIN OFF HIJRAHCCHIATO)
Kembali ke negara asalnya tidak pernah ada dalam rencana Jingga. Setidaknya, sebelum ia bisa berdamai dengan keluarga besar sang ayah. Namun, permintaan seorang sahabat kala kuliah sulit untuk ditolak.
Akan tetapi, keputusan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jingga terdiam di hadapan pintu sebuah kafe. Ia termenung memandangi ukiran kayu yang menghiasi pintu gandanya. Pantas, ia merasa tidak asing. Pola yang sama ia temukan di pintu rumah tetangganya dulu.
Jingga mengayunkan pintu, hingga terbuka lebar. Suasana Amadeus Cafe masih sama seperti terakhir kali ia kunjungi. Ramai. Lebih didominasi oleh pasangan. Jingga berhenti melangkah. Ragu untuk meneruskan karena teringat Kalani.
Kalani tidak mengetahui dimana Jingga berada. Bahkan, ponselnya sengaja dimatikan. Ia hanya ingin meluruskan ingatannya akan masa lalu. Hanya di tempat ini, Jingga bisa membicarakannya dengan leluasa.
"Jingga? Hello married lady!"
Jingga mengigit bibirnya seraya mengamati sekitarnya dengan malu-malu. "Suaramu ... keras sekali, David."
"Oh, c'mon. Keras dari mana sih? Lembut dan merdu begini."
Jingga duduk di kursi yang biasa ia duduki terakhir kali lalu. Hanya ada dia di sana. Di hadapannya, David sang barista menatap curiga.
"Ada yang dicari ya? Atau ... eh, laki lu mana? Gak ikut?"
Jingga menggeleng.
"Lagi berantem ya ...."
"Enggak. Emang enggak ikut aja."
"Kalo Agnes, pernah sekali bawa lakinya. Sekali itu doang terus dia ngilang. Gue coba hubungin. Tapi, kayaknya ganti nomor."
"Dia lagi hamil."
"Ha? Agnes bunting? Serius lu! Tau dari mana?"
"Suami Agnes, adik iparku. Aku sama Agnes juga pernah satu sekolahan."
"Tunggu. Lu temen SMA atau SMP Agnes?"
"SMA."
"Ah, yang bener lu! Serius temen satu SMA?"
Jingga mengangguk. "Kenapa?"
"Kok gue gak inget?"
"Bisa dibilang, aku temen rahasianya Agnes."
"Tunggu! Are you normal?"
"Ya, iya! Aku bukan anak populer kayak Agnes. Aku berteman sama buku di perpus. Dan ada satu kejadian yang bikin kita deket tapi kamu gak tau."
"Oh. Lu mau pesen apa?"
Jingga terdiam sesaat. "Americano. Iced."
"Tumben lu pesen Americano. Biasanya juga sejenis latte. Udah pernah nyoba sebelumnya?"
Jingga mengangguk. Ia memang pernah mencobanya. Dua kali. Pertama, karena penasaran dengan rasa kopi yang tiap pagi diminum Kalani. Kedua, ketagihan. Entah kenapa akhir-akhir ini, ia memilih jenis minuman kopi itu.
"Eh, lu janjian sama Raiden?" tanya David saat melihat sosok pemilik kafe yang berjalan menghampiri kasir. "Pantesan aja kemari. Udah lama dia juga gak ke sini."