(SPIN OFF HIJRAHCCHIATO)
Kembali ke negara asalnya tidak pernah ada dalam rencana Jingga. Setidaknya, sebelum ia bisa berdamai dengan keluarga besar sang ayah. Namun, permintaan seorang sahabat kala kuliah sulit untuk ditolak.
Akan tetapi, keputusan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tunggu! Kenapa kita ke basement?"
Kalani seolah menulikan rungu dan terus berjalan hingga ia menemukan mobil miliknya. "Masuk."
Jingga bergeming. "Mau kemana? Aku ada jadwal visit pasien hari ini. Dan—"
"Masuk!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, Jingga membuka pintu mobil Kalani. Wanita bermanik cokelat muda itu menghentikan gerakannya, ketika melihat kursi penumpang yang sudah tidak seperti saat terakhir ia duduki. "Plastiknya mana?"
"Kulepas. Masuk."
Jingga masuk, duduk lalu otomatis memasangkan sabuk pengaman. "Kenapa?"
"Supaya kamu nyaman."
Mobil melaju membelah hiruk pikuknya kota Jakarta. Jingga beberapa kali melirik Kalani, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, lidahnya kelu.
Kalani memasuki basement apartemen. Setelah memarkirkan mobil, ia turun dan meminta Jingga mengikutinya.
"Kenapa kita pulang?" tanya saat mereka sudah berada di dalam unit.
"Ganti pakaian," ujar Kalani sambil membuka pintu kamar Jingga. "Jangan kembali ke rumah sakit. Istirahat."
"Tunggu! Aku gak bisa gak balik ke rumah sakit. Tuan Kang klienku dan keluarganya ada di sini. Aku harus menjelaskan kondisi beliau sama keluarganya."
"Besok."
"Gak bisa."
Kalani merangkul Jingga, membawa wanita berkerudung merah muda itu masuk ke dalam kamar, meninggalkannya, lalu menutup pintu.
"Kalani! Aku harus ke rumah sakit."
"Besok."
"Tapi—"
"Istirahat. Jangan membantah!"
Langkah Kalani menjauhi kamar Jingga. Tidak berapa lama, terdengar pintu depan terbuka lalu tertutup. Kalani meninggalkan Jingga seorang diri di apartemen mereka.
Jingga mengembuskan napas lalu berjalan menuju kamar mandi. Ia menatap cermin. Perlahan, jilbab yang menutupi rambut kecokelatan itu dibuka. Cukup lama Jingga menatapnya, sebelum menyibak rambut bagian depan. Tampak bekas luka sayatan di sana.
Jemari Jingga merabanya. Agak kasar, sedikit menggelembung, tetapi masih bisa tertutupi oleh rambut bagian depan. Tidak akan ada orang yang tau. Ia yakin itu.
Tiba-tiba rasa nyeri menyerang kepalanya. Seperti ada yang memaku logam ke dalam kepala dengan cepat dan kuat. Matanya berair. Hingga membuat ia ingin membenturkan ke dindind agar nyeri itu hilang.
Sekelebat kenangan melintas. Meski kabur, tetapi ia merasakan sesak. Jantung berdetak tidak beraturan. Batinnya merintih meminta lobus frontalnya untuk berhenti mengingat. Kenangan itu menghilang secepat ia datang.