AXIS 55

1.7K 184 14
                                    

Raiden mengantarkan Jingga hingga depan lobi apartemen tempat ia dan Kalani tinggal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raiden mengantarkan Jingga hingga depan lobi apartemen tempat ia dan Kalani tinggal. Diliriknya Jingga yang masih terisak. "Beneran lu enggak apa-apa?"

Jingga mengangguk. "Aku coba hadapi."

"Kalo ada apa-apa, telpon gue."

Jingga mengangguk, lalu turun dari mobil Raiden. Ia melangkah memasuki area lobi apartemen dengan berat. Ingin rasanya kembali ke apartemen yang dulu. Apalagi, setelah mengingat hubungannya dengan Kalani di masa lalu.

Saat memasuki lift, Jingga mengambil ponselnya. Menatap layar yang gelap, sebelum menyalakannya. Saat lift berhenti di lantai griya tawang, puluhan pesan dari Kalani memenuhi memori ponsel. Semua berisi pertanyaan yang sama, 'kamu dimana? sudah makan?'

Seketika Jingga merasa bersalah pada Kalani. Namun di satu sisi, ia tidak ingin melibatkan Kalani terlebih dahulu. Ia khawatir, pria itu akan berubah menjadi dirinya yang dulu. Sebelum pernikahan mereka terjadi.

Jingga membuka pintu ganda dan melihat sandal rumah milik Kalani tidak ada. Ia bergegas masuk dan mendapati lampu ruang tengah menyala terang benderang. Jingga berjalan menuju ruangan itu. Kalani sedang berdiri menghadap jendela yang dihiasi tetesan air hujan.

"Dari mana?"

Jingga tertegun. Nada bicara Kalani berubah. Datar dan terkesan dingin. Sama seperti pertama kali mereka bertemu di rumah sakit. "Sektor delapan."

"Sudah makan?"

"I-iya." Jingga gugup. Entah mengapa rasa bersalahnya semakin besar. Seperti seorang istri yang kepergok selingkuh oleh suaminya. "Kamu ... udah makan?"

"Sama siapa?"

"Apanya?"

"Sektor delapan."

Jantung Jingga serasa copot. Ia mengigit bibirnya seraya menimbang apakah harus berkata jujur atau berbohong pada Kalani. "Aku ... sendiri."

Kalani terdiam. "Tidurlah."

Jingga mengangguk. "Kamu juga. Assalaamualaikum." Jingga bergegas menuju kamarnya dan menutup pintu segera. Jantungnya berdegup kencang. Rasa bersalah itu lebih besar dari yang Jingga duga setelah berbohong.

Jingga melepas jilbabnya. Ia menuju kamar mandi, mencuci wajah, berganti pakaian, naik ranjang, lalu memejamkan mata. Tiba-tiba, ia teringat longcoat Kalani yang tersampir di island dapur. Longcoat itu basah dan masih meneteskan air hujan di sana.

Jingga tersentak. Saat di Amadeus, sesumbar dilihatnya sesosok pria yang mirip dengan Kalani sedang berdiri di luar kafe. Pria itu tidak mengenakan payung, padahal hujan turun dengan deras. Jingga mengira ia berhalusinasi. Namun, nyatanya tidak. Kalani memang di sana. Dia ketahuan berbohong!

Jingga memilih ditelan bumi saja, ketimbang harus berada satu atap dengan Kalani, setelah menyadari bahwa pria itu mengetahui kebohongannya. Ia gelisah. Berulang kali mondar mandir di dalam kamarnya. Sesekali, dia mendekatkan telinganya ke pintu. Siapa tahu, Kalani sudah beranjak menuju kamar. Namun, tidak terdengar suara apapun lagi.

Displacement [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang