AXIS 37

1.4K 189 8
                                    


Jingga menyeka hidung dengan sapu tangan, sementara Kalani memilih memalingkan tatapan dari wanita bermanik cokelat muda itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jingga menyeka hidung dengan sapu tangan, sementara Kalani memilih memalingkan tatapan dari wanita bermanik cokelat muda itu. Meski masih terdengar segukan, tetapi ia sudah bisa mengatur napasnya. Gelas Jingga pun sudah kosong. Kalani menuangkan lagi air putih ke dalamnya.

"Maaf." Jingga meneguk lagi air minumnya. "Sepertinya aku menyusahkanmu akhir-akhir ini. Entah kenapa aku harus menghadapi hal ini."

"Untuk menyadariku. Kalau kamu manusia."

Jingga terkekeh. "Memang selama ini kamu mengira aku apa? Hantu?"

"Malaikat." Kalani berdeham. "Pencabut nyawa."

"Hey! Memangnya aku terlihat akan membunuhmu?"

Meski hanya tersenyum sekilas, lesung pipi Kalani muncul ke permukaan. "Ini ... pertama kali, klienmu meninggal?"

Jingga menggeleng. "Pernah ada satu. Di Bern. Tapi, aku tidak menghadiri pemakamannya."

Kalani terdiam. Ia memutar otak untuk memilih pertanyaan yang akan diajukan pada Jingga. Ia tidak mau pertanyaan darinya menyinggung ataupun mengubah suasana hati Jingga.

"Tanya saja. Jangan banyak memilih pertanyaan." Jingga menatap Kalani seolah ia tau apa yang sedang lawan bicaranya pikirkan. "Jangan takut salah. Toh kamu menanyakan mengenaiku pada diriku sendiri. Bukan pada orang lain."

Kalani mengembuskan napas. "Kamu dekat dengan ... maksudku—"

"Aku dan keluarga Kang?" Jingga melihat Kalani mengangguk. "Hanya sebatas klien. Gak lebih. Mereka keluarga yang baik."

"Lalu yang tadi. Di kamar."

"Itu ... aku hanya teringat appa." Jingga memainkan jarinya pada gelas yang ada di hadapan. "Kamu tahu ... appa, ayah kandungku sudah meninggal 'kan?"

Kalani mengangguk. Ia tidak lupa akan keributan yang nyaris pecah, saat resepsi pernikahannya dengan Jingga dilaksanakan. Enin yang melarang abah—ayah tiri Jingga—untuk mendampingi ibunya Jingga. Untung saja, hanya terjadi di belakang layar dan hanya pihak keluarga yang tahu.

"Beliau meninggal saat aku berusia delapan tahun. Mereka bilang ... karena sakit. Entahlah. Aku tidak terlalu ingat." Jingga memejamkan matanya mencoba menggali lagi kenangan akan kematian ayah kandungnya. "Saat teringat akan beliau, rasanya sangat sesak. Namun, setiap mencoba mengingat lebih jauh lagi, kepalaku sakit.

"Yang kutahu, appa keturunan Korea. Abah enin menikahi wanita Korea. Bahkan, tempat lahirku di Seoul. Tapi, tidak ada satu pun yang bisa kuingat selain kemampuan berbahasa Koreaku. Hanya itu."

"Pernah MRI?"

Jingga menggeleng. "Untuk apa?"

"Untuk mendeteksi cedera kepala," jawab Kalani. "Siapa tahu kamu pernah mengalami cedera kepala yang mengakibatkan buruknya daya ingatmu di masa lalu."

Displacement [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang