AXIS 14

1.7K 177 5
                                    

Jingga memasuki area rumah sakit dengan kekesalan di ubun-ubun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jingga memasuki area rumah sakit dengan kekesalan di ubun-ubun. Pagi ini dia harus menemui Kalani untuk membicarakan mengenai pernikahan kontrak mereka. Ia tidak mau menjadi pihak yang dirugikan.

"Mau kemana?" Raiden menatap heran Jingga.

"Atasanmu mana?"

"Galak banget pagi-pagi," ujar Raiden, "kemarin lu ke Bandung sama Kalani?"

"Entar aku jelasin. Kalani mana?"

"Baru masuk ke IGD. Gak ketemu?"

Tanpa menjawab pertanyaan Raiden, Jingga bergegas menuju IGD. Bagian rumah sakit yang sebisa mungkin ia hindari. Namun kali ini, pengecualian. Demi masa depannya!

Malang, suasana IGD kacau balau dengan beberapa pasien korban kecelakaan beruntun. Dengan susah payah, Jingga menelan salivanya. Saat hendak mengganti arah tujuan, sebuah suara memanggilnya.

"Kemari!"

Meski enggan, Jingga menghampiri Kalani. Ia berusaha keras untuk tidak melihat pasien yang ada di kanan-kirinya. Sebisa mungkin ia menahan napas, agar bau amis darah tidak tercium.

"Ajak pasien berbicara!"

Jingga menatap pasien yang sedang meracau disertai darah mengucur di beberapa bagian tubuhnya. Seketika, ia gemetaran disertai napas memburu. Jantungnya bertalu semakin kencang bersamaan dengan peluh menetes di pelipis.

"Dokter Natalegawa!" Kalani menatap Jingga seraya melakukan pekerjaannya.

Jingga berusaha untuk berbicara. Namun, tak satu pun kata yang keluar. Napasnya tercekat. Ia membutuhkan pasokkan oksigen lebih banyak. Sekonyong-konyong, sebuah tangan menariknya menjauh dari ranjang pasien.

"Dokter Kamandaka!" tegur Kalani.

"Saya yang meminta Dokter Natalegawa ke IGD. Pasien saya membutuhkan bantuannya," jawab Raiden. "Maaf, saya yang membutuhkannya terlebih dahulu. Permisi."

Secepat kilat, Raiden membawa Jingga menuju taman rumah sakit di lantai 5. Ia menatap wanita yang tampak mencoba menyembunyikan ketakutannya. "Kalau lu mau teriak atau nangis silahkan. Setidaknya gak ada yang dengar."

Jingga menatap Raiden heran dengan netra berkaca-kaca.

"Gak usah heran. Gak ada satupun manusia sempurna di dunia ini," lanjut Raiden. "Dokter ... bahkan psikolog. Mereka sama-sama menyimpan trauma yang disembunyikan dari orang lain.

"Lu hematophobia, kan?"

"Kata siapa?"

"Dokter Mulya pernah bilang kecurigaannya sama gue. Dia kasian sama lu dan berharap gue nyampein ke Kalani," jawab Raiden. "Kalau masih sesak, lepasin ajah. Gak ada yang tau atau liat, kecuali gue. Sesuatu yang dipendam sendiri itu berat. Mungkin lu hanya berpura-pura kuat.

Displacement [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang