AXIS 52

1.5K 183 13
                                    

Seperti janji Kalani, akhir pekan mereka berkendara ke Bandung untuk bertemu orangtua Jingga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti janji Kalani, akhir pekan mereka berkendara ke Bandung untuk bertemu orangtua Jingga. Setelah menikah, Jingga hanya berkomunikasi lewat telepon atau menggunakan fitur panggilan video dengan kedua orangtuanya. Memang, rasa rindu akan keluarga tidak bisa terobati hanya lewat telepon. Akan tetapi, setidaknya masih bisa saling menanyakan kabar.

"Kamu banyak diam. Tidak seperti biasanya. Tumben."

Jingga menoleh pada Kalani yang sedang mengendari mobilnya. "Tumben? Kamu tahu kata itu?"

"Byan. Dia mengajari kata-kata Indonesia tidak baku. Misalnya, mager, santuy, gabut ... hanya itu yang bisa kuingat."

"kayaknya kamu sering berhubungan dengan Byan akhir-akhir ini."

"Sebenarnya, kami selalu saling dukung. Hanya saja aku memang tidak banyak bicara."

"Tanggapan Byan setelah kamu jadi banyak bicara, gimana?"

"Pernikahan bisa mengubah seseorang."

"Hah?"

"Byan. Dia mengatakan itu padaku." Kalani melirik Jingga sekilas. "Tapi, memang benar. Meskipun, aku masih jauh dari sebutan manusia normal."

"Jangan mulai menilai diri sendiri terlalu rendah atau terlalu tinggi. Biasa saja."

"Bukankah di atas langit masih ada langit?"

"Memang. Tapi, kalau berpikiran seperti itu terus ... jadinya kayak kamu. Kecenderungan OCPD, Obsessive Compulsive Personality Disorder. Perfeksionis dan terobsesi dengan kesempurnaan dalam hidup. Termasuk masalah steril gak steril."

"Aku sudah mulai melepas handscoon."

"Kalo sama aku aja."

"Menyentuh orang lain."

"Baru sama aku dan mom."

"Aku tidak pernah menggeser-geser lagi benda yang tidak lurus."

"Kemarin, apa?" tanya Jingga sengit.

"Itu ... karena tidak sengaja tersenggol olehku. Kalau tidak dibetulkan, bisa jatuh."

Jingga mencebik. "Di depan, belok kiri. Sebentar lagi sampai."

"Kita tidak ke rumahmu?"

Jingga menggeleng. "Enin ikut."

Kalani menoleh pada Jingga. "Kenapa muram?"

"Hanya ... mempersiapkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan yang ... nanti kamu juga tau."

Kalani memarkirkan mobilnya di sebuah restoran steak di jalan R.E Martadinata, Bandung. Bangunan restoran bergaya art deco ala kolonial Belanda ini, menarik perhatian Kalani. Ia berjalan seraya membawa beberapa tas berisi hadiah untuk keluarga Jingga.

"Tah geuningan. Jingga ...." Enin berdiri menyambut Jingga dengan membuka kedua tangannya lebar. "Kamana wae, kemana aja, Jingga. Enin sono. Kangen."

Displacement [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang