"Kau tahu, rencanamu ini terlalu berisiko, Lady," kata Marquess Theotokis.
"Ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu, Marquess Theotokis," Vladimira menimpali, "dan aliansi bukanlah pengecualian."
"Tapi Ratu Irene benar," ujar Marquess Theotokis, "kau bisa kehilangan kepala. Biarkan aku meralat sedikit; kita bisa kehilangan kepala. Bukan hanya kau, tetapi aku juga. Lady, ingatlah, aku punya seorang adik perempuan yang bisa menjadi gadis sebatang kara jika aku mati di tangan raja Hungaria."
"Sebatang kara sebagai seorang marchioness, itu tidak akan begitu buruk, Marquess," sanggah Vladimira.
"Baiklah, lupakan masalah pribadiku," cetus Marquess Theotokis, "karena ada hal lain yang harus kita khawatirkan. Adik perempuanku sangat tidak pintar dalam mengurus pertahanan. Dia tidak berbakat menjadi marchioness! Tapi, jika perbatasan itu diberikan pada orang lain yang mampu menjadi marquess yang baru, bagaimana nasib Galilea selanjutnya? Dia tidak punya rumah dan posisi di negeri ini. Dia hanya bergantung padaku." Ujung-ujungnya, Marquess Theotokis kembali ke masalah pribadi keluarganya lagi.
"Dia akan berada di bawah perlindungan keluargaku sampai seseorang memperistrinya," janji Vladimira, "percayalah padaku."
"Kau bersumpah?" Marquess Theotokis menatap Vladimira dengan tajam, menyiratkan ketidakpercayaan.
"Demi Tuhan, jika Marcus Theotokis gugur dalam tugasnya menemaniku ke Hungaria, keluargaku akan memberikan perlindungan pada adik perempuan Marcus Theotokis hingga seseorang memperistri gadis tersebut," ikrar Vladimira.
"Sebutkan namanya!" tuntut Marquess Theotokis, "Namanya Galilea Theotokis."
"Demi Tuhan, jika Marcus Theotokis gugur dalam tugasnya menemaniku ke Hungaria, keluargaku akan memberikan perlindungan pada Galilea Theotokis hingga seseorang memperistri Galilea. Kau puas?" Vladimira mendengus lirih.
"Aku merasa lega," aku Marcus sambil mengangguk. "Sekarang, bagaimana jika kita memang justru diserang di sana?"
"Kau tidak bisa bertarung?" Vladimira balik bertanya.
"Bisa menggunakan pedang," jawab Marquess Theotokis, "sedikit."
"Aku hanya bisa menggunakan belati, tapi aku yakin itu cukup untuk mengoyak nadi musuh yang berjumlah sedikit. Aku juga akan membawa beberapa pengawal yang ada di kastil ini, sekitar enam atau tujuh, tetapi tidak lebih banyak dari itu. Kurasa, itu adalah persiapan yang cukup."
"Baiklah, Lady, kurasa, aku bisa mati dengan tenang karena kau mau menjamin kehidupan Galilea."
"Kalau kita mati, kita tidak akan menyesal, Marquess," ujar Vladimira, "karena kita mati dalam keadaan memperjuangkan bantuan untuk kekaisaran kita, dan kita tidak sendirian. Jika kau mati, aku pun mati bersamamu. Tidakkah mati bersama-sama akan terasa jauh lebih menyenangkan daripada mati seorang diri dalam kesepian?"
"Aku tidak tahu, Lady," kata Marquess Theotokis sambil menggeleng, kemudian menambahkan, "karena aku sendiri belum pernah mati."
"Panggil aku Vladimira," pinta Vladimira.
"Dan panggil aku Marcus. Untuk apa kita bersikap begitu formal? Bukankah keadaan telah memaksa kita untuk bersekutu?"
Vladimira bangkit dari kursinya sambil tersenyum, dan dibalas dengan sama tulusnya oleh Marquess Theotokis.
"Permisi, Lady." Arnelle muncul di pintu. "Apakah diskusi Anda dengan Marquess Theotokis sudah selesai? Jika sudah, saya akan mengantarkan beliau ke kamar yang tersedia untuk beliau."
"Marcus, silakan mengikuti Arnelle ke kamarmu," ucap Vladimira pada Marquess Theotokis, "dan anggaplah kastil ini sebagai kastil salah satu kerabatmu. Anggaplah aku sebagai kerabatmu."
"Bukankah semua keturunan bangsawan Byzantium memang merasa berkerabat?" Marquess Theotokis mendekati Vladimira untuk mengecup jari-jari tangan kanan gadis itu, kemudian mengikuti Arnelle keluar dari aula tersebut.
***
Vlad turut terbangun ketika Erzsebet bangun pada pagi buta. Dan karena Vlad sudah bangun, Erzsebet pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merapikan tempat tidur Vlad. Mereka memang hanya berpelukan setiap malam, tetapi bukan berarti kekusutan tempat tidur bisa dihindari.
Vlad membantu Erzsebet membereskan kasurnya, kemudian bantal-bantal mereka, lalu mereka membuka jendela bersama-sama. Angin pagi yang dingin segera menerpa wajah mereka, dan pipi Erzsebet memerah karena tubuhnya berusaha menghangatkan diri.
"Bahkan dalam keadaan baru bangun tidur pun kau sangat cantik," puji Vlad, dan itu adalah kalimat pertama yang didengar oleh Erzsebet hari ini.
"Selama enam tahun terakhir ini, tidak seorang pun memujiku seperti itu," kata Erzsebet lirih.
"Tak seorang pun pria berani mengatakannya, dan tak seorang pun wanita mau mengakuinya, Erz," Vlad menerangkan. "Tapi aku bisa mengatakannya padamu dengan mudah karena memang begitulah adanya. Kau sangat cantik. Bahkan lebih cantik daripada mendiang istriku. Beruntunglah pria yang mendapatkanmu sebagai istrinya kelak."
"Dan mengapa bukan kau?" Erzsebet tertawa kecil.
"Kau mau menjadi istriku?" Vlad tersenyum geli seraya memainkan ikal pirang Erzsebet, "Itu tidak bagus, Erz. Aku akan terlihat seperti menikahimu hanya karena kau punya rambut yang mirip dengan Crina."
"Kau mempedulikan apa kata orang?" Erzsebet balas memainkan rambut hitam Vlad yang lurus.
"Pada sebagian besar waktu, aku cukup peduli," jawab Vlad.
Pintu kamar Vlad diketuk secara bertubi-tubi tanpa kaidah sopan santun, padahal matahari bahkan belum benar-benar muncul.
Vlad melepaskan tangannya dari rambut Erzsebet, lantas berjalan dengan cepat menuju pintu kamarnya dan membukanya. Ia menggeram tatkala mendapati siapa yang mengetuk pintunya. Orang itu adalah gadis belia berambut merah yang diperkenalkan sebagai seorang pelayan bernama Marusia tempo hari.
"Jika kau tidak datang karena sesuatu yang penting, sebaiknya kau melarikan diri secepat mungkin," sembur Vlad, "atau kau akan sangat menyesal."
Erzsebet turut muncul, membuat Marusia bisa merasa sedikit lega.
"Jangan senang hanya karena ada pelayan lain di sini," Vlad menggertak Marusia, "sebab dia tidak akan menolongmu andai aku memutuskan untuk menyulamu. Katakan apa keperluanmu! Aku tidak punya waktu seharian hanya untuk menunggumu bicara!"
"Lady Szilágyi meminta Anda menemuinya di aula depan istana utama," ungkap Marusia akhirnya.
"Ada apa?" tuntut Vlad, "Biasanya dia akan menungguku muncul di taman."
"Lady Szilágyi tidak mengatakan apa pun pada saya," kata Marusia, "tetapi dari apa yang saya dengar ketika beliau berbicara dengan Lola dan Olga, tampaknya utusan Raja Matthias berhasil menemukan mayat istri Anda."
"Apakah kau mengerti apa makna dari perkataanmu itu?!" Vlad meraih kedua bahu Marusia, dan ia mengguncang-guncangkan gadis mungil tersebut.
"Saya mohon, Anda harus berpura-pura tidak mengetahui apa pun ketika menemui Lady Szilágyi," Marusia memohon, "karena beliau bisa menghukum saya jika mengetahui saya memberitahu orang lain tentang apa yang telah saya dengar dari percakapan beliau."
"Aku senang mendengar permohonanmu yang tulus itu." Vlad mengacak-acak rambut merah Marusia seolah Marusia adalah keluarganya sendiri, kemudian ia bergegas menuju aula depan istana utama.
Dan Vlad sama sekali tidak menoleh ke belakang.
"Kau mau sarapan bersamaku?" Marusia memberikan tawaran pada Erzsebet yang masih terpaku menatap kepergian Vlad.
"Apakah aku terlihat seperti orang yang ingin menikmati sarapan?" tanya Erzsebet dengan sinis.
"Ya," jawab Marusia dengan polos. "Kau pasti bangun lebih pagi dariku karena takut pada Lord Basarab melebihi aku takut pada Lady Szilágyi. Kau pasti sudah lapar sekarang. Jangan malu-malu di hadapanku, Erzsebet. Ayo sarapan bersamaku."
"Aku tidak lapar," sangkal Erzsebet sebelum melangkahkan kakinya menjauh.
-Emer Emerson-
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Vladimira
Historical FictionDemi ambisinya untuk menjadi kaisar Imperium Romanum Novum, Raja Niccolo dari kerajaan Agorantis memutuskan pertunangannya dengan Lady Vladimira-putri Marquess Ypsilantis. Sementara itu, Vlad Tepesh, sang pangeran Wallachia yang terkenal kejam dan t...