59

23 1 0
                                    

Tapi, pada akhirnya, tanggung jawab untuk mengajarkan pelajaran kepada Marusia dijatuhkan ke pundak Erzsebet, karena Ilona merengek ingin jalan-jalan ke desa terdekat bersama Vlad usai makan siang.

"Apa gunanya mengajarkan semua itu padanya? Toh, dia tidak akan menjadi utusan kerajaan," begitu kata Ilona ketika Vlad mengutarakan niatnya untuk memberikan beberapa pelajaran pada Marusia.

Kemudian, dengan tegas, Vlad meminta Ilona tidak memprotes keputusannya untuk memerintahkan Erzsebet menjadi guru bagi Marusia. Ilona berhenti mencibir, dengan jaminan Vlad benar-benar akan menghabiskan sisa hari itu dengannya.

Sekarang, di salah satu ruangan kosong yang ada di istana cabang itu, Erzsebet sedang mendengarkan Marusia yang membaca sebuah buku sastra Hungaria dengan suara lantang. Sesekali, Marusia mengalami kendala, namun dengan cepat menemukan di mana letak kekeliruannya dan segera mengoreksi cara bacanya sendiri.

"Semangat yang luar biasa!" puji Erzsebet seraya merebut buku yang ada di tangan Marusia, kemudian meletakkannya di meja yang ada di sudut ruangan.

Erzsebet meraih sebuah gulungan kain besar yang ada di dekat jendela, lantas membentangkannya di lantai hingga hampir terlihat seperti karpet baru bagi ruangan itu.

Gulungan itu bukan sembarang gulungan, melainkan sebuah peta yang digambar dengan cukup baik oleh tangan orang-orang yang ahli. Pewarna kainnya pun jelas merupakan pewarna terbaik yang bisa didapatkan di Hungaria.

"Viorica adalah salah satu orang yang mengetahui tentang keberadaan peta besar ini, dan dia telah berbaik hati membawakannya untuk kita," ujar Erzsebet. "Tugasmu sekarang adalah membaca tulisan yang ada di setiap wilayah, dan mengingat semuanya dengan baik. Aku tidak akan memintamu menghafalnya dalam satu kali mencoba, Marusia, karena itu tidak mungkin. Aku hanya ingin kau membaca dan mengamati peta ini berulang-ulang, sampai akhirnya kau akan mengingatnya tanpa menyadari prosesnya. Kau mengerti maksudku?"

Marusia mengangguk. Sejenak kemudian, dia bertanya, "Dari mana saya harus memulai?"

"Di sini," jawab Erzsebet sambil menunjuk wilayah Hungaria, "tempat yang menjadi jantung hatimu."

"Hu-nga-ri-cae." Marusia mengeja nama negara yang ditunjuk oleh Erzsebet. "Hungaria? Apakah ini Hungaria?"

"Benar." Erzsebet mengangguk. "Peta ini menggunakan bahasa Latin, dan kau bisa membacanya sebaik kau membaca buku sastra Hungaria. Tuan Tepesh pasti akan sangat bangga padamu ketika kemampuanmu berkembang lagi nanti."

"Jadi, selama ini, aku hidup di tempat ini saja, padahal ada banyak sekali tempat yang lain?!" Marusia menunjuk-nunjuk gambar negara-negara yang lain dengan antusiasme yang begitu tinggi. Ia segera membaca nama tempat-tempat yang lain secara acak, seperti Prancis, Wallachia, Polandia, lalu beberapa kekaisaran yang mengepung mereka.

"Imperium... Romanum... Sacrum..." Marusia sudah bisa merangkai suku kata menjadi satu kata utuh. "Apa artinya ini, Erzsebet?"

"Kekaisaran Romawi Suci," jawab Erzsebet dengan jujur.

"Unio... Calmariensis..."

"Uni Kalmar," sahut Erzsebet, "gabungan dari beberapa negara di utara."

"Imperium... Byzantium..."

"Sudah tidak ada lagi," ujar Erzsebet.

"Hm?" Marusia langsung menoleh pada Erzsebet.

"Kekaisaran Byzantium sudah runtuh karena dikuasai oleh Ottoman. Itu adalah peta lama."

"Lalu ini? Imperium... Romanum... Novum? Apa ini?"

"Kekaisaran Romawi Baru," jelas Erzsebet, "yang masih bersaudara dengan Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Byzantium. Dari tiga bersaudara, kekaisaran itulah yang masih bertahan hingga saat ini."

"Tiga bersaudara? Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Romawi Baru bersaudara dengan Kekaisaran Byzantium, tetapi tidak bersaudara dengan Kekaisaran Romawi Suci?" tanya Marusia lagi.

"Ini masalah yang sangat rumit." Erzsebet tersenyum. "Sekarang, baca-baca saja dulu. Suatu saat nanti, Tuan Tepesh akan menjelaskan lebih banyak hal padamu. Aku sangat yakin."

"Visegrád," lanjut Marusia. "Visegrád! Erzsebet, ini tempat tinggal kita!"

"Benar." Erzsebet tersenyum.

"Ada tulisan lain yang lebih kecil dari tulisan nama negara, tetapi lebih besar daripada tulisan nama-nama kota. Apa ini?"

"Yang mana?"

"Ini!" Marusia menunjuk daerah Romanum Novum. "Hypatini... Agorantis... Mariante... Agapena... dan Sfocini!"

"Itu nama kerajaan-kerajaan kecil yang membentuk Imperium Romanum Novum."

"Apakah mereka seperti negara kecil yang membayar upeti pada negara besar yang lebih berkuasa?"

"Tidak, tidak." Erzsebet menggeleng. "Mereka bersaudara. Mereka membentuk kekaisaran karena mereka saling menyayangi."

"Sulit dipahami!" gerutu Marusia.

***

Galilea Theotokis menyipitkan mata ketika mendapati bahwa ada beberapa bangsawan selain Duke Borgia yang ikut ke aula lain.

"Satu, dua, tiga, empat orang ini kenapa ada di sini?!" Galilea menghitung dan mempertanyakan keberadaan tiga marquess dan seorang duke lain yang ada di ruangan itu.

"Pada kakak laki-lakimu, putriku menjanjikan perlindungan untukmu," ungkap Marquess Ypsilantis, "itulah sebabnya aku berada di sini."

"Tidak ada apa-apa, Lord," kata Galilea pada Marquess Ypsilantis. "Saya hanya ingin tahu, apa yang akan diusulkan oleh Duke Borgia untuk melindungi keluarga marquess di provinsinya. Anda bisa kembali ke aula besar untuk menikmati hidangan di sana. Begitu pula dengan marquess dan duke yang lain."

"Jika orang ini membuatmu kesulitan, beritahu aku," Duke Borromeo berpesan pada Galilea.

"Baik, Your Grace." Galilea mengangguk pada Duke Borromeo.

***

Vladimira sudah mendapatkan seluruh akal sehatnya ketika jarak antara rombongannya dengan Istana Visegrád semakin menipis. Namun, meskipun sisa-sisa mabuknya yang tak seberapa itu sudah benar-benar hilang, Vladimira tetap tidak bisa merangkai kalimat yang tepat untuk diutarakan kepada Raja Matthias Corvinus. Lama-kelamaan, kepalanya terasa seperti mau pecah karena kebingungan.

"Hei." Marcus membuka lubang kotak antara kusir dan penumpang. "Kita sudah memasuki Visegrád."

"Aku tidak tahu apa yang hendak kukatakan pada Raja Matthias Corvinus," ungkap Vladimira secara terus terang.

"Aku akan membantumu semampuku," ujar Marcus sebelum menutup lubang kotak tadi.

Vladimira menjulurkan tangannya untuk membuka tirai jendela, dan melihat bagaimana bangunan-bangunan di luar sana berdiri. Terlihat jelas betapa berbedanya arsitektur rakyat Hungaria dengan arsitektur rakyat Romanum Novum. Hungaria kental bergaya khas bangsa Magyar, sementara Romanum Novum dipengaruhi oleh kebudayaan Romawi dam Byzantium. Tapi, sekarang bukanlah waktu untuk membandingkan desain arsitektur. Dalam hitungan menit, mereka akan sampai, dan Vladimira belum menemukan kata pembuka yang tepat.

Sambil terus berpikir, Vladimira meraih tas serut sederhana miliknya, lantas memakai kembali kalung salib ypsilon dan cincin berlian merah yang sempat ia sembunyikan selama perjalanan. Setidaknya, walaupun penampilan mereka berantakan karena efek perjalanan yang sangat jauh, mereka masih bisa terlihat seperti selayaknya bangsawan dengan satu atau dua perhiasan mewah.

Kereta kuda mereka berhenti di depan gerbang Istana Visegrád, dan Marcus segera mengatakan kepentingan mereka kepada penjaga gerbang. Marquess dari Mariante itu hanya menyebut diri mereka sebagai bangsawan dari Romanum Novum yang memiliki kepentingan antar negara dengan Hungaria.

Salah satu penjaga gerbang pergi ke dalam untuk menghadap raja mereka terlebih dahulu, sementara rombongan Vladimira terus menunggu.

"Siapa nama kalian?" tanya penjaga gerbang tadi ketika kembali lagi.

"Marquess Marcus Theotokis dan Lady Vladimira Ypsilantis dari Romanum Novum," jawab Marcus.

Kemudian, sekali lagi, mereka harus menunggu, karena penjaga tadi harus melapor lagi.

-Emer Emerson-

Lady VladimiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang