81

20 2 3
                                    

"Jadi, kau bisa berkuda sendiri, Nona Popa?" Marcus mengulurkan tangannya dengan niatan membantu Romanitza naik ke kuda yang ditunggangi oleh gadis itu, namun Romanitza bisa naik sendiri tanpa bantuan siapa pun.

"Dengan sangat baik," jawab Romanitza dengan penuh percaya diri.

"Marquess Theotokis," Vlad memanggil Marcus.

"Ya, Voivode?" Marcus mendatangi Vlad yang berdiri di dekat seekor kuda hitam.

"Kau bisa kembali ke keretamu, sementara aku akan berkuda," Vlad memutuskan.

"Terlalu berisiko," sela Vladimira seraya berjalan ke arah mereka. "Semua orang di Wallachia akan mengenalimu, tak terkecuali para prajurit Ottoman. Begitu mereka melihatmu, mereka akan memburumu."

"Kita bisa mengatasinya," sesumbar Vlad.

"Aku tidak menyiapkan rombonganku untuk mati dalam perjalanan mencari sekutu, Tuan Tepesh," desis Vladimira. "Aku membutuhkan mereka untuk pertempuran yang sesungguhnya melawan Ottoman. Kau akan naik kereta itu bersamaku."

"Jalan tercepat adalah melalui kota, tetapi kita tidak bisa beramai-ramai," kata Konstantin yang tiba-tiba bergabung. "Yanisari memperketat penjagaan mereka beberapa hari ini. Rombongan dengan jumlah yang terlihat tidak wajar akan diperiksa. Kita harus pergi dalam tiga gelombang, dan semua yang memiliki kedudukan penting tidak boleh berada di gelombang yang sama."

"Bagaimana baiknya, menurutmu?" Vladimira meminta pendapat Konstantin lebih lanjut.

"Kau tidak boleh ada di kereta yang sama dengan Voivode," cetus Konstantin.

"Dia harus berada di kereta yang sama denganku," Vladimira berkeras. "Aku harus memastikan—"

"Beliau tidak akan mengkhianatimu!" potong Konstantin. "Beliau menjanjikan perlindungan untukku jika ayahmu menolak untuk menebusku, dan beliau menepatinya!"

"Aku sudah meminta maaf padamu perihal penebusan itu," ujar Vladimira.

"Masalahnya bukan itu!" elak Konstantin. "Kau bisa melihatku berdiri dalam keadaan sempurna dan sepenuhnya sehat di depan matamu saat ini juga! Dan kau masih meragukan Voivode?"

"Aku ingin mengawasinya dengan kedua mataku sendiri," Vladimira ngeyel.

"Apakah kau tidak mengerti jika kau sama pentingnya dengan Tuan Tepesh dalam rombongan ini?" Erzsebet turut bicara. "Konstantin secara tidak langsung telah mengakuimu sebagai orang terpenting setelah kepala keluarga Ypsilantis yang tidak ada di sini. Apakah kau tidak berusaha menghargai penghormatan yang diberikan oleh Konstantin kepadamu?"

"Konstantin lebih penting daripada aku," sanggah Vladimira. "Jika aku mati dalam sebuah serangan, Ypsilantis tidak akan kehilangan orang yang bisa menjadi penerus mereka. Itulah mengapa aku berkeras agar aku bisa berada di kereta kuda Theotokis bersama Voivode Vlad III, supaya Konstantin bisa aman bersama Vasile dan Romanitza seperti biasanya."

"Kalau kau sudah memutuskan yang terbaik, untuk apa kau meminta pendapat Konstantin?" Erzsebet menatap tajam pada Vladimira, matanya berkilat. "Atur saja sesuai keinginanmu, dan kita bisa berangkat tanpa ada drama lagi." Erzsebet berjalan menuju salah satu kereta barang. "Aku akan bertukar tempat dengan Marusia. Biarkan gadis itu duduk di samping kusir kereta kuda."

Vlad sangat malas bergabung dalam perdebatan itu, sehingga ia hanya menyimak dan melemparkan pandangan dari satu orang ke orang yang lain. Ia bisa melihat Erzsebet dan Vladimira beradu tatapan nyalang, sementara Konstantin memandang mereka dengan sorot lelah, dan Vasile terpaku pada—mungkin—mata Erzsebet—karena mata biru itu memang terlihat seperti berkilat-kilat.

"Konstantin, selain keputusanku untuk berada di kereta yang sama dengan Voivode, aku ingin kau mengatur sisa seluruh perjalanan ini," kata Vladimira sambil berjalan menuju kereta kuda Theotokis. "Dan makan siang bisa dibeli di Târgovişte. Makan dengan cepat kalau di tempat, atau dibungkus dan makan di tempat yang jauh dari keramaian. Pokoknya jangan sampai seluruh rombongan kita berkumpul, kecuali kalau sudah memasuki Hypatini. Jangan lupa untuk membawa seluruh pasukan Wallachia. Romanum Novum cukup besar untuk menerima mereka tinggal di sana selama beberapa bulan hingga semuanya berakhir."

Vladimira memasuki kereta kuda secepat kilatan petir, lantas duduk dengan murung. Vlad menyusulnya dengan lebih anggun, dan menutup pintu kereta kuda itu dengan lembut.

"Dia tidak sekasar itu pada awal perkenalan kami," keluh Vladimira.

"Erzsebet bisa sewot dan sensitif pada saat-saat tertentu, meskipun dia lebih sering membisu jika tidak menyukai suatu keadaan," sahut Vlad.

"Apakah dia tidak menyukai keberadaanku sebagai pemimpin rombongan ini?" Vladimira menimbang-nimbang.

"Hanya dia yang tahu," jawab Vlad ringkas. Matanya menyusuri kerut-kerut pada wajah cantik Vladimira.

Meski samar, Vlad bisa melihat kejengkelan bercampur kekecewaan pada wajah Vladimira. Erzsebet pasti telah membuat gadis di hadapannya ini merasa tersinggung.

"Jangan memikirkan cara Erzsebet berbicara padamu," celetuk Vlad.

"Dia sangat ramah ketika kita masih berada di Visegrád," timpal Vladimira.

"Mungkin dia hanya sedang lelah, atau malah sedang datang bulan, sehingga dia mudah merasa jengkel pada sedikit saja perdebatan," bela Vlad.

"Mungkin dia ingin memimpin sepertiku," tebak Vladimira.

"Dia tidak punya kemampuan yang sama denganmu. Dia hanya akan berguna di medan pertempuran. Dia tidak mengerti caranya mengambil hati kawan dan pasukan. Dia hanya tahu bagaimana caranya melawan orang yang tidak menyukainya."

"Seperti caranya menghindari Ilona?" dengus Vladimira.

"Mereka berada dalam fase perang dingin," Vlad mengoreksi.

"Mereka memperebutkanmu." Vladimira tertawa kecil. "Dan aku tidak akan heran. Para pemimpin selalu diperebutkan."

***

Konstantin meminta sepertiga pengawal berangkat terlebih dahulu bersama Vlad, Vladimira, dan Brutus. Berselang lima belas menit, giliran rombongan Marcus bersama Erzsebet dan Marusia. Konstantin, Vasile, dan Romanitza akan menjadi yang paling akhir, sekaligus yang mengumpulkan pasukan Wallachia.

"Adik perempuanmu itu benar-benar mirip denganmu," celetuk Vasile ketika rombongan kedua sudah agak jauh. "Rambut pirang keemasan, mata biru bak kaca patri, dan bibir tipis merah muda pucat."

"Jauhkan matamu dari Erzsebet!" Konstantin memukul lengan Vasile. "Tundukkan pandanganmu! Tundukkan pandanganmu agar pikiranmu juga terjaga kesuciannya!"

"Aku tidak memikirkan apa pun!" elak Vasile. "Aku tidak mengkhayalkan diriku menyentuh rambut adik perempuanmu, apalagi mencium bibirnya yang indah it—aduh!" Vasile berteriak ketika Konstantin memukul punggungnya dengan jauh lebih keras.

"Pikiranmu tercemar," kata Konstantin, "itu dosa."

"Kau tidak membahas dosa ketika kita menyula pasukan Yanisari," cibir Vasile.

"Mempertahankan tanah air adalah kasus yang berbeda, Frate," sanggah Konstantin.

"Lima belas menit akan terasa seperti selamanya," gerutu Romanitza.

***

Sama seperti perjalanan sebelumnya, Vladimira tertidur dalam posisi duduk hanya lima belas menit setelah perjalanan dimulai. Vlad menahan dengusan geli karena gadis yang terlihat tangguh ini terlampau mudah tertidur.

Vlad memperhatikan, bahkan dalam tidur pun Vladimira mengatupkan mulut rapat-rapat, sehingga air liur tidak mungkin menetes keluar dan membuatnya tampak menjijikkan. Sungguh tingkah laku amat sempurna yang pasti diperoleh karena adanya tekanan sebagai tunangan seorang raja.

Dari putri marquess menjadi tunangan raja, pasti bukan hal yang mudah. Kehidupannya pasti selalu keras dan penuh tuntutan. Kemudian ditinggalkan begitu saja. Menyisakan luka dan dendam dalam hati mungil yang tidak bersalah.

Pada titik ini, Vlad menyadari mengapa ia merasa melihat duka dalam mata Vladimira. Karena sorot mata itu memang penuh duka. Namun, perihal pertunangan yang diputuskan itu pastilah hanya satu hal. Ada hal lain yang masih belum Vlad ketahui. Setidaknya belum.

Vladimira membuka mata, menampakkan iris sebiru lautan di sana. Gadis itu mengerjap beberapa kali, kemudian kembali ke alam mimpi lagi, seolah tak pernah terbangun sama sekali.

Vlad tersenyum simpul, lantas turut memejamkan mata karena tidak memiliki teman bicara.

-Emer Emerson-

Lady VladimiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang