13

38 5 36
                                    

Arnelle-lah yang menemukan kalung salib ypsilon milik Vladimira—terkubur di bawah gaun-gaun super mewah yang jarang sekali dipakai. Arnelle menduga kalung salib berbentuk huruf Y itu disembunyikan di sana agar mudah dicari ketika dibutuhkan. Tetapi, kecerdasan Vladimira itu malah membuat yang bersangkutan melupakan taktik penyimpanannya sendiri.

Dengan kelegaan menyapu hatinya, Vladimira mengecup dan memeluk kalung salib emas putih itu erat-erat di dadanya. Berlian putih yang menghiasi permukaan liontin itu berkilauan diterpa cahaya samar yang masuk melalui jendela.

"Saya akan melanjutkan kepentingan saya," kata Arnelle. "Anda tadi berkata ingin memakai baju merah ke acara itu, 'kan?"

"Ganti warna lain saja," tukas Vladimira.

"Baiklah. Mau warna apa? Jingga? Biru? Oh, nila tampak bagus!"

"Hitam," ujar Vladimira.

"Tapi, besok bukan suasana berkabung, Lady. Perkabungan akan dilakukan bersama-sama pada hari ketujuh kematian Kaisar Dominikus. Pada acara pemakaman itulah Anda bisa memakai gaun hitam."

"Aku ingin memakai gaun hitam pada acara besok," Vladimira berkeras. "Aku memaksa."

"Bagaimana jika Marquess Ypsilantis marah?"

"Biarkan saja," kata Vladimira dengan enteng.

"Tapi, bagaimana jika beliau marah kepada saya?" Arnelle menatap Vladimira dengan sorot mata ketakutan yang tidak dibuat-buat.

"Marah kepadamu?" Vladimira mengernyit.

"Karena sudah jelas jika sayalah yang menyiapkan segala keperluan Anda sehari-hari. Tidak mungkin saya tidak terkena getahnya jika Marquess atau Marchioness Ypsilantis tidak menyukai pakaian yang Anda kenakan."

"Kau berada dalam perlindunganku, Arnelle," ucap Vladimira dengan kalem, "selalu. Aku janji." Ia menyunggingkan seulas senyuman pada Arnelle yang masih tampak ragu-ragu.

***

Vlad terus menepuk-nepuk punggung Erzsebet untuk menenangkan gadis tersebut. Sementara itu, isakan Erzsebet sudah mulai berhenti. Air mata pun sudah tidak menggenangi mata bening gadis itu.

"Sebentar lagi akan masuk waktunya makan malam," Vlad mengingatkan. Tangannya menyeka sisa air mata di pipi Erzsebet dengan sangat lembut. Sentuhan itu sungguh berkebalikan dengan tampilan wajahnya yang bengis.

"Aku harus pergi ke tempat para pelayan berada dan makan di sana, seperti biasanya," kata Erzsebet sambil menarik dirinya dari pelukan Vlad.

"Kalau kau mau, besok, kau bisa makan malam bersamaku di sini," Vlad menawarkan, "kemudian kita minum teh bersama-sama seperti kemarin. Kau mau?"

"Tentu saja." Erzsebet mengangguk.

"Gadis baik." Vlad mencubit pipi Erzsebet dengan lembut. "Maafkan aku, tapi aku harus makan malam dengan Ilona malam ini."

"Jangan terlena," Erzsebet berpesan.

"Apa yang begitu kau takutkan?"

"Mungkin aku takut duda baru ini jatuh cinta pada janda Transylvania itu," ungkap Erzsebet tanpa tedeng aling-aling.

"Dan kenapa kau khawatir sampai sebegitunya?" Vlad tertawa. "Setelah menghabiskan makan malammu, segeralah memasuki ruang makanku. Berdirilah di sudut untuk menungguku, seperti yang terkadang kau lakukan jika aku makan di sana, dan saksikanlah sendiri. Kau akan tahu jika Vlad Tepesh tidak semudah itu tunduk pada wanita."

"Aku menyayangimu," bisik Erzsebet di telinga Vlad, "sebesar aku menyayangi Wallachia."

"Terima kasih," ucap Vlad sebelum mencium puncak kepala Erzsebet lagi, kemudian melepaskan gadis itu.

Lady VladimiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang